Rabu, 06 Juni 2012

PROFIL SEJARAH KERAJAAN MUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KERAJAAN DI TANAH MELAYU

PROFIL SEJARAH KERAJAAN MUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KERAJAAN DI TANAH MELAYU Muna juga merupakan salah suku besar di Sulawesi Tenggara, bahasa yang dipakai penduduk pribumi juga menggunakan bahasa muna. Daerah ini dahulunya adalah sebuah kerajaan pada permulaan abad ke-15. Banyak peninggalan-peninggalan yang terdapat di gua-gua di daerah ini yang diperkirakan dibuat pada abad XV dan XVI seperti lukisan manusia terbang, prajurit bertombak dan lain-lain. Pada zaman dahulu daerah ini bernama Wuna yang berarti bunga. Konon nama wuna ada karena adanya batu yang menyerupai bunga dan sewaktu-waktu tumbuh (orang menyebutnya kontu kowuna artinya batu berbunga). Suku-suku lain di Sulawesi Tenggara mengenal muna juga dengan sebutan Wuna. Kecuali jika berbahasa Indonesia, tetap disebut dengan kata muna. Kisah Sawerigading (Sawerigadi) Cerita turun-temurun yang melekat pada masyarakat muna bahwa pada zaman dahulu ada sebuah kapal yang bernama Sawerigading (Sawerigadi) yang berasal dari Luwu Sulawesi Selatan. Kapal ini menabrak karang di Pulau Muna. Kapal tersebut lama kelamaan diliputi karang dan menjadilah sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama bukit bahutara (bahutara mungkin berasal bahasa Melayu yakni kata bahtera yang berarti perahu). Bukit tersebut saat ini merupakan bukit batu yang sewaktu-waktu tumbuh dan menyerupai bunga (letaknya di Kota Kuno sekitar 35 km dari ibukota kabupaten muna Raha). Oleh penduduk daerah ini disebut kontu kowuna artinya batu berbunga (Mungkin dari sinilah asal kata Wuna berasal). Pada setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha batu berbunga menjadi tujuan utama warga muna untuk mengambilnya dan dijadikan jimat. Karena kapal Sawerigading telah menjadi bukit maka ia bersama para pengikutnya mendirikan perkampungan di Pulau Muna dan sebagian awak kapal menuju daratan Sulawesi kira-kira sekitar Kendari dan sekitarnya (Di Kendari ada 2 Kerajaan yakni Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga). Di Pulau Muna juga mereka tidak menetap tetapi selalu berpindah-pindah. Namun kampung-kampung yang mereka dirikan selalu diberi Kampung Gadi (Lagadi) dan Melai/Melay (Wamelai). Hubungan Kata Gadi dan Melay dengan Sawerigading dan Melayu Mengapa kampung yang mereka dirikan diberi nama Gadi (Lagadi) dan Melay (Wamelay). Hampir dapat dipastikan bahwa Nama Gadi kemungkinan berasal dari nama Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi). Karena ia seorang laki-laki maka disebutlah dengan nama Lagadi. Karena kebiasaan orang muna menyebut laki-laki selalu diawali dengan kata La atau a untuk laki-laki dan Wa untuk perempuan. Lalu bagaimana dengan kampung Melay? Sawerigading dan pengikutnya tidak mungkin menamakan kampung yang mereka dirikan tanpa sesuatu sebab. Mungkinkah Melay berasal dari kata Melayu? Penulis memastikan bahwa kata melai/melay mungkin berasal dari kata Melayu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Masyarakat muna sulit mengungkapkan kata-kata asing menurut kata yang sebenarnya. Contoh: Jerigen (menjadi Dhereke), terpal (menjadi tarapali), coklat (tokolati) 2. Masyarakat muna menyebut bahasa Indonesia dengan sebutan Wamba Malau bukan Wamba Indonesia. Wamba berarti bahasa. Sampai saat ini pun orang muna tetap memakai kata wamba malau dan bukan wamba Indonesia. 3. Orang muna menyebut orang Melayu dengan nama Mieno Malau 4. Adanya beberapa kata dalam bahasa Muna yang sama persis dengan bahasa melayu misalnya hela (berarti tarik), kata ganti kepunyaan –ku, -mu seperti digunakan dalam kata kontumu yang berarti batumu, lambuku yang berarti rumahku. Kata ganti kepunyaan ini juga banyak mempengaruhi bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia. Jika berasal dari kata melayu, berarti rombongan Sawerigading sebagian adalah orang melayu. Kemungkinan lain adalah rombongan dari Melayu juga datang di Muna dan mungkin saja pimpinan rombongan atau yang berpengaruh dalam rombongan tersebut adalah seorang perempuan (putri). Oleh sebab itu dapat dipastikan pemberian nama kampung yakni Wamelay didasarkan atas pimpinan rombongan itu (Wa sebutan untuk perempuan). La Eli alias Baidzul Dzaman La Eli Raja pertama Kerajaan Muna yang bergelar Bheteno ne tombula yang berarti yang muncul dari tolang (tolang adalah sejenis bambu yang sangat tipis dan agak besar). Sebelum menjadi Raja, konon La Eli ditemukan oleh rombongan utusan Kamokulano Tongkuno (Kamokulano berarti yang dituakan atau yang dipertuan di Tongkuno). Rombongan tersebut mencari batang tolang untuk perlengkapan upacara adat saat itu. Sampai saat ini upacara dengan menggunakan tolang tersebut masih ada yakni disebut upacara Kasalasa atau katalasa (upacara adat sebelum bercocok tanam untuk kebun yang baru), ada juga bernama Ka ago-ago yakni upacara untuk memasuki suatu area baru. Dikisahkan, pada waktu utusan Kamokulano Tongkuno memotong bambu mereka mendengar suara Eh Eh (Menurut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna). Saat mereka memotong lagi, mereka mendengar suara eh eh lagi, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari asal suara tadi, ternyata mereka menemukan seorang pria dan pria ini langsung dibawa menghadap Kamokulano Tongkuno. Pria tersebut ditempatkan dalam sebuah ruang khusus yang diberi nama ‘Songino Betheno ne Tombula’ yang berarti Ruangannya orang yang muncul/ditemukan dari tolang lanjut La Kimia Batoa dalam Sejarah Kerajaan Muna, dan orang tersebut diberi nama Bheteno ne Tombula (artinya orang yang muncul dari tolang). Kata Bheteno ne Tombula terdiri beberapa suku kata yakni Bheteno (yang muncul), ne (di) dan Tombula (tolang/sejenis bambu). Secara harfiah Bheteno ne Tombula memang dapat diartikan yang muncul dari tolang. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang salah menafsirkan. Menurut para tua-tua di muna, bahwa Bheteno ne Tombula (dalam hal ini La Eli) memang muncul dari batang tolang. Namun jika kita kaji makna Kata Bheteno ne Tombula, kita dapat menemukan arti lain. Di atas telah dikatakan bahwa utusan Kamokulano Tongkuno mencari batang tolang. Rombongan Sawerigading (orang muna menyebutnya Sawerigadi) mendirikan perkampungan-perkampungan dan sebagian lagi ke Jazirah Sulawesi Tenggara. Mengapa muncul nama La Eli bukan nama Sawerigading (Sawerigadi)? Penulis belum mengetahui pasti, apakah La Eli dan Sawerigading adalah dua orang yang berbeda, ataupun Sawerigading sendiri hanyalah nama kapal yang ditumpangi La Eli bersama rombongannya. Lepas dari masalah itu, mari kita kembali kepada kata Bheteno ne Tombula. Kata Bheteno bisa berarti yang muncul. Menurut orang tua-tua di muna, La Eli berasal dari batang tolang tetapi sebagian lagi mengatakan ia ditemukan dalam rumput tolang (sejenis bambu) oleh utusan pencari batang tolang dari Tongkuno (Tongkuno saat ini menjadi nama Kecamatan). Penemuan Wa Tandi Abe (We Tendri Abeng) Pada suatu ketika di pantai Napabale (saat ini menjadi salah objek wisata di kabupaten muna) ditemukan seorang putri yang sangat cantik dan putri tersebut mencari laki-laki yang telah menghamilinya, yang tidak lain laki-laki tersebut adalah La Eli alias Baidzul Dzaman (di Sulawesi Selatan dikenal nama I Lagaligo, Wa Tandi Abe dikenal dengan nama We Tendri Abeng, Mungkinkah I Lagaligo yang dimaksud adalah La Eli dan We Tendri Abeng adalah Wa Tandi Abe). Kabar penemuan putri ini akhirnya terdengar oleh La Eli dan pada saat itu La Eli mengatakan kepada Kamokulano Tongkuno bahwa putri tersebut adalah istrinya dan mereka berdua berasal dari Kerajaan Luwu. Mungkinkan Wa Tandi Abe (We Tenryabeng) berasal dari Melayu? Melihat nama Tendryabeng tentunya nama ini adalah nama asli dari Sulawesi Selatan bukan dari tanah melayu. Mungkinkah ia dibesarkan di Tanah Melayu dan tetap memakai nama yang bukan nama Melayu ataupun nama Islam. Mengapa ia disebut Baidzul Zaman? Cerita yang berkembang dalam masyarakat Muna saat ini bahwa yang pertama kali memimpin Kerajaan Muna adalah Baidzul Zaman yang bergelar bheteno ne tembula (orang-orang tua menyebutnya: Baidhuludhamani). Nama Baidzul Zaman ini tentu saja mengarah kepada nama Islam namun sejak pemerintahan Raja Pertama di muna belum Nampak unsur-unsur Islam. Hal ini terbukti dengan adanya upacara-upacara dalam masyarakat muna yang tidak mencerminkan unsur-unsur islami misalnya upacara Katalasa, Kaago-ago, Kaghotino buku, Kapamole dan lain-lain walaupun hal ini tidak disadari oleh tua-tua di Muna bahwa pada awal mula kerajaan ini masyakatnya belum memeluk Islam, akan tetapi nanti pada masa pemerintahan La Posasu (Raja Muna VIII) masyarakat muna sudah mulai memeluk Islam. Lantas, mengapa ia dikenal dengan nama Baidzul Zaman? Menurut penulis bahwa nama itu dipakai La Eli saat berada di tanah Melayu karena masyarakat tanah melayu saat itu sudah memeluk Islam, olehnya itu agar La Eli bisa bergaul dengan masyarakat Melayu saat itu, ia memakai nama Islam dan berperilaku sebagai orang Islam atau mungkinkah sudah memeluk agama Islam. Dari Situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo) dikatakan bahwa Sawerigading adalah Saudara Kembar We Tendriyabeng dan Sawerigading menikahi We Tenriyabeng. Dalam naskah tersebut dikatakan bahwa Sawerigading putranya bernama I Lagaligo. Mungkinkah Lagaligo adalah La Eli atau keturunannya, tidak ada pendapat yang pasti. Namun terlepas dari itu penulis berpendapat bahwa We Tenriyabeng sebenarnya adalah Wa Tandi Abe sebab orang muna tidak dapat (sudah) melafalkan kata Tenriyabeng. Kemungkinan Kata Tenriyabeng ini menjadi Tandi Abe dalam bahasa Muna. Apakah Wa Tandi Abe di sini adalah sang Putri dari Melayu. Penulis juga tidak dapat memastikannya, yang jelas La Eli dan Wa Tandi Abe adalah Raja dan Permaisuri pertama Kerajaan Muna. Menurut La Kimia Batoa dalam Buku Sejarah Kerajaan Muna, bahwa Wa Tandi Abe mengendarai sebuah dulang (sejenis Loyang) yang dalam bahasa Muna disebut Palangga (ia digelari Sangke Palangga) hingga ia ditemukan di Muna. Mengapa seorang putri mengendarai dulang? Menurut penulis bahwa kapal yang ditumpangi Tandi Abe mungkin tenggelam dan terpisah dengan rombongan kapal Sawerigading. Perkiraan penulis La Eli menumpangi Kapal Sawerigading sedangkan Wa Tandi Abe menumpangi kapal lain. Disebutkan di atas bahwa kapal Sawerigading menabrak karang di pulau muna, kemungkinan ini terjadi karena adanya cuaca buruk. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe kemungkinan akibat cuaca buruk terbawa oleh arus laut dan akhirnya tenggelam. Kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tentunya di dalamnya banyak pelayan dan prajurit sehingga walaupun kapal yang ditumpangi Wa Tandi Abe tenggelam tetapi berkat bantuan dari para pelayan dan prajuritnya Wa Tandi Abe selamat dari maut. Kemungkinan yang bisa terapung di dalam air adalah dulang maka dulang ini kemungkinan didorong oleh prajurit sambil berenang menuju ke daratan. Lagi-lagi menurut penulis, kemungkinan rombongan Wa Tandi Abe berasal dari Tanah Melayu sebab kampung yang didirikan rombongan kapal Sawerigading selalu diberi nama La Gadi dan Wa Melay sebab pemberian nama suatu kampung/negeri karena adanya suatu sebab, seperti halnya penemuan Benua Amerika yang diambil dari salah seorang Juru Tulis saat itu yang bernama Amirico Vesvusi. Oleh karenanya rombongan Kapal Sawerigading selalu memberi nama kampung yang mereka dirikan dengan nama La Gadi atau Wa Melay yang menandakan bahwa mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Saweri Gadi) dan dari Tanah Melayu (Wa Tandi Abe). Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar