Kerahasiaan
dan Kepentingan Umum : Kasus Humas
Dalam
kehidupan sehari-hari, mungkin ada diantara kita yang bekerja menjadi seorang
humas atau Public Relaitions di Institusi pemerintahan atau perusahaan swasta.
Dalam pekerjaanya seorang Public Relations atau humas dituntut agar dapat
menciptakan, memelihara, dan meningkatkan imege positif dari institusi atau
lembaga tempat dia bekerja. Untuk memenuhi tuntutan profesinya, seorang
humas harus mempunyai kempauan sebagai image maker, problem solver, dan
serta memiliki kemampuan negosiasia dan persuasi yang handal.
Seorang
praktisi humas yang bekerja disebuah instasi atau perusahaan harus menjaga nama
baik dan reputasi instansi atau perusahaan yang diwakilinya . Dalam melakukan
tugasnya untuk menjaga nama baik dan reputasi kliannya seorang praktisi humas
harus membela kepentingan-kepentingan kliennya. Seorang praktisi harus mampu
menciptakan image positif dari instansi yang diwakilinya. Seorang praktisi
humas juga harus mampu menyelesaikan isu-isu yang muncul mengenai instansi atau
perusahaan tempat dia bekerja. Humas harus bisa memastikan isu atau pemberitaan
negative yang muncul mengenai perushaan yang diwakilinya tidak menyebar
ke masyarakat dan mejadi krirs bagi prusahaan.
Oleh sebab itu sering kali karena tuntun profesinya seorang humas harus
merahasiakan informasi negative mangenai perusahaan atau instansi yang
diwakilinya. Pada saat ada informasi negative mengenai perusahaan, Miaslnya,
perusahaan mengali masalah atau kerugian, humas harus bisa menjaga informasi
tersebut agar tidak diketahui oleh orang lain. Kalaupun informasi negative
tersebut sudah diketahui oleh orang lainnya, biasnya sudah tugasnya humas untuk
memastikan isu negative tersebut tidak menyebar lebih luas, apalagi samapai ke
media.
Jadi secara tidak langsung seorang praktisi humas dituntut untuk dapat menjaga
kerahasiaan mengenai informasi-informasi negative mengenai perusahaan.
Namun di lain sisi seorang praktisi humas juga mempunyai peran sebagai
penyampai informasi dari perusahaan ke publicnya, yaitu masyarakat dan
sebaliknya. Dalam menyampaikan informasi tentu saja seorang praktisi humas di
tuntut untuk menyampaikan informasi secara benar atau apa adanya. Dalam hal ini
berarri seorang praktisi humas tidak boleh menutup-nutupi sebgain informasi
atau hanya menyampaikan informasi yang baik-baik saja ke pada publik. Praktisi
humas harus menyampaikan semua informasi mengenai perusahaan secara benar dan
terbuka, apabila informasi tersebut memang berhak diketahui oleh public.
Intinya
di suatu sisi seorang humas dituntut oleh klien atau instansi tempai ia bekerja
untuk menjaga kerahasiaan informasi negative mengenai instasi yang diwakilinya.
Namun, disisi lain seorang humas juga berkewajiban bersikap terbuka dan
mengedepankan kepentingan public diandingkan dengan kepentingan instansi atau
perusahaan tempat ia bekerja. Akan tetepi, mungkin akan sangat sulit bagi
seorang praktisi humas untuk bersikap lebih mementingakn kepantingan public
dari pada menjaga kerahasiaan perusahaannya.
Seorang
praktisi humas yang lebih memilih untuk mengutamakan kepentingan umum mungkin
akan menerima resiko akan kehilangan pekerjaannya, karena di keluarkan dari
instansi tempat dia bekerja. Hal inilah mungkin masih banyak praktisi humas
yang mementingkan kepentingan instansi tempat ia bekerja bila dibendingkan
dengan kepentingan public. Hal ini memang menjadi delima yang mungkin melanda
sebagaian besar praktisi humas. Lalu bagaimana seorang praktisi humas
mengahadapi delima ini? Bagaiamana caranya praktisi humas bisa mengutamakan
kepentingan public sementara ia di tuntut untuk menjaga kerahaasiaan perusahaan
tempat ia bekerja?
Teori
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memutuskan tindakan apa yang
seharusnya harus dilakukan oleh seorang praktisi humas kita harus kembali
kepada etika. Etika Dalam menjalankan sebuah profesi kita tentu saja harus
memiliki pedoman dalam menentukan tindakan dan keputusan yang akan kita
ambil. Pedoman-pedoman tersebut sebenarnya sudah ada di dalam
etika. Etika dan etik (Kode Etik) merupakan salah satu cabang dari ilmu
filsafat, yang banyak menyinggung nilai-nilai atau norma-norma moral yang
bersifat menentukan atau sebagai pedoman sikap tindak atau prilaku sebagai seorang
yang menyandang suatu profesi tertentu.
Etika
berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang berarti tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamaknya yaitu ta etha berarti adat kebiasaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika memiliki tiga arti yaitu:
(a) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak); (b) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (c)
nilai mengenai tindakan yang benar dan salah yang dianut suatu golongan
masyarakat.
Secara
istilah etika mempunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Kedua, kumpulan asas atau nilai moral (kode
etik). Ketiga, ilmu tentang yang baik atau buruk. Jadi etika adalah ilmu
mengenai apa yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk, yang lebih baik
dan lebih buruk, yang dijadikan pedoman dalam dunia professional untuk menentukan
keputusan yang akan diambil dalam menjalankan profesinya.
Secara
umum etika mencakup tiga bagian, yaitu; Mete Etika, Etika Normatif, dan Etika
Terapan. Yang pertama Meta Etika, merupakan segala studi mengenai karakteristik
atau sifat etika. Misalanya meliputi kebaikan, kebenaran, keadilan,dan
kejujuran. Yang kedua Etika Normatif, berkenaan dengan pengembangan teori,
aturan, dan prinsip prilaku moral(moral coduct).
Yang
ketiga adalah Etika Terapan Berkenaan dengan pemecahan masalah etika yang
terjadi di dalam masyarakat. Etika terapan bersumber dari metaetika dan prinsip
dan aturan umum etika normatif yang berkaitan dengan isu-isu dan kasus-kasus
nyata etika. Etika terapan dirancang untuk memandu kita di tengah lingkungan
dunia-nyata. Termasuk untuk membahas megenai kerahasiaan dan kepentingan
public ini kita akan mengunakan etika terapan. Karena kasusnya di bidang humas
maka etika terapa yang akan kita gunakan adalah etika di bidang humas, yaitu
etika profesi humas. Etika terapan juga sering dikenal dengan sebutan etika
profesi.
Etika
Komunikasi
Etika
komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku aktor komunikasi
(wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi
berhubungan juga dengan praktik institusi, hukum, komunitas, stuktur sosial,
politik, dan ekonomi. Maka, aspek sarana atau etika strategi dalam bentuk
regulasi sangat perlu. Etika komunikasi memiliki tiga dimensi yang saling
terkait satu sama lain, yaitu tujuan, sarana, dan aksi komunikasi itu sendiri.
Tiga
Dimensi Etika Komunikasi
Pertama, dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi, yaitu
aksi komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi
etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi (politics). Aspek
etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertanggung jawab. Kehendak baik
ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang
mengatur profesi.
Dimensi
yang kedua, yaitu sarana (polity). Dimensi ini memfokuskan pada sistem
media dan prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan informasi yang
mendasari hubungan produksi informasi. Dimensi sarana meliputi semua bentuk
regulasi oleh penguasa publik dan stuktur sosial yang direkayasa secara politik
menganut prinsip timbal balik. Sedangkan dimensi tujuan (policy)
menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan
pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam Negara demokratis, para
actor komunikasi, peneliti, asosiasi warga Negara, dan politisi harus mempunyai
komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta
memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.
Etika
Profesi Humas
KODE
ETIK PROFESI
ASOSIASI
PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA
(APRI)
Pasal
1 Norma-norma Perilaku Profesional
Dalam
menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai
kepentingan umum dan menjaga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung
jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan
maupun yang sekarang, dan terhadap sesama anggota asosiasi, anggota media
komunikasi serta masyarakat luas.
Pasal
2 Penyebarluasan Informasi
Seorang
anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab,
informasi yang palsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha
sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk
menjaga integritas dan ketepatan informasi.
Pasal
3 Media Komunikasi
Seorang
anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media
komunikasi.
Pasal
4 Kepentingan yang tersembunyi
Seorang
anggota tidak akan melibatkan dirinya dalam kegiatan apapun yang secara sengaja
bermaksud memecah belah atau menyesatkan, dengan cara seolah-olah ingin
memajukan suatu kepentingan tertentu padahal sebaliknya justru ingin memajukan
kepentingan lain yang tersembunyi. Seorang anggota berkewajiban untuk menjaga
agar kepentingan sejati organisasi yang menjadi mitra kerjanya benar-benar
terlaksana secara baik.
Pasal
5 Informasi Rahasia
Seorang
anggota (kecuali bila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang) tidak
akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang dipercayakan kepadanya, atau
yang diperolehnya, secara pribadi, dan atas dasar kepercayaan, atau yang
bersifat rahasia, dari kliennya, baik di masa lalu, kini atau di masa depan,
demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk kepentingan lain tanpa
persetujuan jelas dari yang bersangkutan
Pasal
6 Pertentangan Kepentingan
Seorang
anggota tidak akan mewakili kepentingan-kepentingan yang saling pertentangan
atau saling bersaing, tanpa persetujuan jelas dari pihak-pihak yang
bersangkutan, denganterlebihdahulu mengemukakan fakta-fakta yang terkait.
Pasal
7 Sumber-sumber Pembayaran
Dalam
memberikan jasa pelayanan kepada kliennya, seorang anggota tidak akan menerima
pembayaran, baik tunai maupun dalam bentuk lain, yang diberikan sehubungan
dengan jasa-jasa tersebut, dari sumber mana pun, tanpa persetujuan jelas dari
kliennya.
Pasal
8 Memberitahukan Kepentingan Keuangan
Seorang
anggota, yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi,
tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi
tersebut ataupun memanfaatkan jasa-jasa organisasi tersebut, tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepentingan keuangan pribadinya yang terdapat
dalam organisasi tersebut.
Pasal
9 Pembayaran Berdasarkan Hasil Kerja
Seorang
anggota tidak akan mengadakan negosiasi atau menyetujui persyaratan dengan
calon majikan atau calon klien, berdasarkan pembayaran yang tergantung pada
hasil pekerjaan PR tertentu di masa depan.
Pasal
10 Menumpang-tindih Pekerjaan Anggota Lain
Seorang
anggota yang mencari pekerjaan atau kegiatan baru dengan cara mendekati
langsung atau secara pribadi, calon majikan atau calon langganan yang potensial,
akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengetahui apakah
pekerjaan atau kegiatan tersebut sudah dilaksanakan oleh anggota lain. Apabila
demikian, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukan anggota tersebut
mengenai usaha dan pendekatan yang akan dilakukannya terhadap klien tersebut.
(Sebagian atau seluruh pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menghalangi anggota mengiklankan jasa-jasanya secara umum).
Pasal
11 Imbalan Kepada Karyawan Kantor-kantor Umum
Seorang
anggota tidak akan menawarkan atau memberikan imbalan apapun, dengan tujuan
untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien), kepada orang
yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat luas.
Pasal
12 Mengkaryakan Anggota Parlemen
Seorang
anggota yang mempekerjakan seorang anggota parlemen, baik sebagai konsultan
atau pelaksana, akan memberitahukan kepada Ketua Asosiasi tentang hal tersebut
maupun tentang jenis pekerjaan yang bersangkutan. Ketua Asosiasi akan mencatat
hal tersebut dalam suatu buku catatan yang khusus dibuat untuk kep[erluan
tersebut. Seorang anggotaasosiasi yang kebetulan juga menjadi anggota parlemen
wajib memberitahukan atau memberi peluang agar terungkap, kepada ketua, semua
keterangan apapun mengenai dirinya.
Pasal
13 Mencemarkan Anggota-anggota Lain
Seorang
anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik
profesional anggota lain.
Pasal
14 Instruksi/Perintah Pihak-pihak Lain
Seorang
anggota yang secara sadar, mengakibatkan atau memperbolehkan orang atau
organisasi lain untuk bertindak sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan kode
etik ini, atau turut secara pribadi ambil bagian dalam kegiatan semacam itu,
akan dianggap telah melanggar kode ini.
Pasal
15 Nama Baik Profesi
Seorang
anggota tidak akan berperilaku sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik
asosiasi, atau profesi public relations.
Pasal
16 Menjunjung Tinggi Kode Etik
Seorang
anggota wajib menjunjung tinggi kode etik ini, dan wajib bekerja sama dengan
anggota lain dalam menjunjung tinggi kode etik, serta dalam melaksanakan
keputusankeputusan tentang hal apapun yang timbul sebagai akibat dari
diterapkannya keputusan tersebut. Apabila seorang anggota mempunyai alasan
untuk berprasangka bahwa seorang anggota lain terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang dapat merusak kode etik ini, maka ia berkewajiban untuk memberitahukan hal
tersebut kepada Asosiasi. Semua anggota wajib mendukung Asosiasi dalam
menerapkan dan melaksanakna kode etik ini, dan Asosiasi wajib mendukung setiap
anggota yang menerapkan dan melaksanakan kode etik ini.
Pasal
17 Profesi Lain
Dalam
bertindak untuk seorang klien atau majikan yang tergabung dalam suatu profesi,
seorang anggota akan menghargai Kode Etik dari profesi tersebut dan secara
sadar tidak akan turut dalam kegiatan apapun yang dapat mencemarkan Kode Etik
tersebut.
Contoh
Kasus
Tidak Transparan, Sekjen DPR
Diadukan ke KIP
Sebelumnya,
ICW mengajukan keberatan akibat ditolaknya permintaan informasi laporan hasil
studi banding anggota DPR RI ke beberapa negara kepada sekjen DPR. Hal ini
dilakukan, setelah sebelumnya ICW telah mengajukan permintaan informasi
tersebut kepada Humas DPR dan diterima langsung Humas DPR yang ditandatangani
Indah Kurnia pada tanggal 26 November 2010.
Tetapi
hingga saat ini. Sekjen dan pejabat yang berwenang dalam pelayanan informasi
publik belum merespons permintaan informasi tersebut. “Surat 23 November 2010
belum direspon, menurut Undang-Undang KIP, jika dalam 14 hari tidak direspons
maka kami memberi surat keberatan,” ungkap Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik
Abdul Dahlan di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta.
Dahlan
mengancam, bila dalam batas waktu 30 hari Kesetjenan DPR tidak juga mau .
memberikan laporannya, baik terkait hasil kunjungan maupun penggunaan
anggarannya, maka ICW akan melaporkannya ke Komisi Informasi Publik (KIP).
“Kami menyampaikan kepada sekjen dan jika 30 hari tidak direspons, kami akan
sengke-takan ke komisi informasi sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa informasi,” tandasnya(Dikutip dari Suara Karya.com edisi 07 Feb 2011)
Analisis
Kasus
Dari
kasus diatas dapat dilihat kalau humas DPR tidak mau memberikan laporan hasil
studi banding yang telah di lakukan angota DPR kepada ICW. Padahal ICW
disini merupakan sebuah lembaga yang mewakili public, dengan demikian
kepentingan ICW tersebut adalah kepentingan publik. Jelas hal ini melanggra
kode etik profesi humas. Dalam kasus ini berdasarkan analisis saya humas DPR
sudah melanggar kode etik profesi humas, yaitu :
Pasal
1 Norma-norma Perilaku Profesional
“Dalam
menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai
kepentingan umum dan menjaga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung
jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan
maupun yang sekarang, dan terhadap sesama anggota asosiasi, anggota media
komunikasi serta masyarakat luas”
Humas
adalah fungsi komunikasi masyarakat sehingga suka atau tidak suka ia memiliki
tanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran. Kode etik asosiasi profesi
PR menyediakan bab dan pasal yang mengharuskan pengungkapan kebenaran, pada
pasal satu diatas dijelaskan kalau seorang praktisi humas harus menghargai
kepentingan umum. Dalam pasal tersebut juga disebutkan kalau seorang praktisi
humas harus bersikap adil dan jujur termasuk kepada msyarakat. Seharusnya humas
DPR harus memberikan informasi yang dibutukan oleh ICW.
Peter
O’Malley membandingkan praktisi humas dengan pengacara. Seorang pengacara bisa
tetap membela kliennya meskipun tau ia bersalah. Apa yang didukung oleh
pengacara tersebut adalah sebuah keyakinan dalam sistem hukum dan hak setiap
setiap orang untuk menjalani sebuah proses peradilan. Namun, dalam humas tidak
ada institusi seperti ini. Dengan demikian, praktisi humas tidak terikat untuk
melakukan apapun yang diinginkan oleh klien mereka, dan tidak etis jika mereka
berbohong atas nama klien mereka, bahkan jika ini atas perintah klien mereka.
Maka
seharusnya, humas DPR memberikan informasi yang dibutuhkan oleh ICW. Informasi
ini juga merupakan untuk kepentingan umum atau kepentingan public. Tidak etis
jika humas DPR tidak memberikan informasi yang berguna untuk kepentingan
publik. Dalam hal ini ICW adalah perwakilan public untuk menyelidi kejelsan
dari studi banding yang dilakukan oleh agota DPR. Seharusnya public atau
masyarakat luas berhat mengetahui hasil dari studi bnading tersbut, karena DPR
merupakan perwakilan dari rakyat atau masyarakat.
Kemudian
humas DPR disini jelas sudah melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam Undang-undang ketebukaan informasi publik, publik berhak mendapatkan
informasi publik. Informasi publik yang dimasud sudah diterangkan dalam pasal
14 Undang-undang keterbukaan informasi publik. Dalam Undang-undang Keterbukan
Informasi Publik juga sudah dijelakan informasi yang dikecuaikan untuk
diberikan kepada publik. Kalau dilihat dari jenis informasi yang di minta oleh
ICW kepada humas DPR adalah termasuk informasi yang berhak diketahui oleh
publik. Oleh sebab itu seharusnya humas DPR memberikan Iinformasi mengenai
laporan studi banding yang dilakukan oleh angota DPR yang di minta oleh ICW.
Dalam
kode etik profesi humas memang ada pasal mengenai kerahasian informasi. Pasal
tersebut berbunyai :
”
Seorang anggota (kecuali bila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang)
tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang dipercayakan
kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi, dan atas dasar kepercayaan,
atau yang bersifat rahasia, dari kliennya, baik di masa lalu, kini atau di masa
depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk kepentingan lain
tanpa persetujuan jelas dari yang bersangkutan”
Dalam
pasal tersebut memang dijelaskan kalau seorang praktisi humas dilarang
menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang dipercayakan dan yang bersifat
rahasia untuk memperoleh kepentingan pribadi atau kepentingan lain tanpa
persetujuan jelas dari yang bersangkutan. Tapi kalau dilihat dalam konteks
dalam pasal tersebut, sorang praktisi humas memang dilarang menyampaikan
informasi kalau memang informasi tersebut di perolehnya atas dasar kepercayaan
atau bersifat rahasia. Dalam hal ini mungkin humas sudah berjanji tidak akan
menyebarluaskan informasi tersebut sebelum informan mau memberikan informasi
kepadanya, maka sudah seharusnya humas menjaga kerahasiaan informasi tersebut.
Hal
ini berbeda dengan informasi yang diminta oleh ICW, informasi yang diminta
adalah informasi yang bukan bersifa rahasia dan bukan informasi yang diperolah
oleh humas atas dasar keperccayaan, informasi tersebut adalah informasi laporan
studi banding angota DPR. Dimana DPR ini adalah wakil dari masyarakat, maka
sudah barang tentu masyarakat atau publik berhak mendaatkan dan mengetahui
informasi tersebut.
Mungkin
sebagai seorang praktisi humas, humas DPR harus lebih memahami lagi kode etik
profesi humas dan juga Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam kode
etik profesi humas jelas sekali disebutkan kalau seorang praktisi humas harus
menjungjung tinggi kepentingan publik. Dalam Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik juga sangat jelas bagiamana kepentingan publik harus di
utamakan.
Mungkin
benar sorang humas bekerja pada kliennya dan harus menjaga nama baik kliennya.
Tapi dalam melaksanakan pekerjaannya sorang praktisi humas tetap harus
mengutamakan kepentingan publik. Kepentingan publik harus lebih untama dari
pada kepentingan perusahaan atau lembaga yang diwakilinya. Kepentingan publik
merupakan kepentingan orang banyak. Maka kalau ada informasi perusahaan yang
menyangkut kepentingan publik humas harus memberikan informasi tersebut kapada
publik.
Isu
mengenai kerahsiaan dan kepentingan informasi publik dalam profesi humas hendak
nya dilihat dari pendekatan teori etike Teleologi. Teori etika ini dikemukakan
oleh filosof John Stuart Mill. Etika ini juga disebut sebagai utilitarianisme.
Etika teleologi merupakan etike yang membawa kebahagian (atau kesenangan)
terbesar bagi orang banyak. Jadi dalam teori etika teleologi ini sesuatu
dikatakan beretika kalau membawa kebahagaian bagi orang banyak. Kalaimat mambewa
kebahagian bagi orang banyak ini kalau kita terjemahkan sama artinya dengan
mengutamakan kepentingan publik.
Seorang
humas di tuntut untuk mengunggkapakan kebenaran dan menjunjung tinggi
kepentingan publik. Oleh sebab itu praktisi humas harus meggunakan teori etika
telelogi dalam memutuskan anatara kerahasiaan dan kepentingan publik.
Kepentingan publik harus menjadi pedoman bagi seorang praktisi humas dalam
mengambil keptusan. Dengan berpedoman kepada etika maka seorang praktisi humas
akan mencapai summbum bonum atau kebajikan tertinggi dalam dunia professional.
Kebajikan
tertinggi ini akan menimbulkan respek dan kepercayaan masyarakat kepada
praktisi humas tersebut. Dan secara tidak langsung respek dan kepecayaan
masyarakt akan juga di dapatkan oleh lembaga yang di wakili oleh humas
tersebut. Jadi sebenarnya apabila humas dan lembaga mau mengedepakan
kepentingan publik dengan memberikan informasi yag dibutuhkan publik, humas dan
lembaga tersebut tidak perlu marasa khawatis citra perusahaannya akan buruk
karena masyarakt mejadi tau mengenai keburukannya. Akan tetapi dengan sikap
terbuka, jujur dan mengedepankan kepentingan publik, akan membuat humas dan
perusahaan tersebut mendapatkan kabajikan tertinggi dimata publik, karena telah
bersikap jujur dan terbuka kepada publik. Akhirnya publik akan merasa respek
dan percaya kepada humas dan perusahaan atau lembaga tersebut.
Misalnya
ketika ICW meminta informsi mengenai laporanstudi banding anggota DPR kepada
humas DPR, sehrusnya humas DPR langsung memberikannya. Humas DPR tidak usah
takut hla tersebut akan membuat citra DPR akan menjadi buruk, sekalipun
laporan tersebut hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Humas DPR harus
menjelaskan apa yang benar, jujur dan terbuka untuk mengutamakan kepentingan
publik. Dengan demikian walaupun ada keslahan atau penyalahgunaan dalam studi
banding tersbut, publik akan tetap respek karena DPR melalui humasnya sudah mau
terbuka dan mengutamakan kepentinagan publik. Dan pada akhirnya rasa respek
masyarakat akan menjadi rasa kepercayaan masyarakat kepada DPR.
Ketika
seorang praktisi humas bertindak sesuai dengan kepentingan publik, maka tidak
akan ada masalah yang muncul. Karena dalam etika profesi humas seorang praktisi
humas memang harus mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan
pribadi, klein ataupun kelompok tertentu.
Saran
Etika Komunikasi Yang Seharusnya Digunakan
Dalam etika dan etika komunikasi
khususnya, semua atruan mengaenai kerahsiaan dan kepentigan public bisa kita
dapatkan. Di dalam etika semua itu sudah diatur. Dalam etika komunikasi,
khususnya etika profesi humas, aturan mengenai kerahasiaan itu sudah ada. Kapan
kita harus menjaga kerahasiaan informasi yang kita dapatkan dan kapan pula kita
bisa menyebarluaskan dan memberikan informasi yang kita dapatkan untuk
kepentingan public.
Dalam etika profesi humas, anatara kerahasiaan dan kepentingan public sama
pentingya. Namun untuk studi kasus mengenai ICW yang meminta informasi kepada
DPR harus dilihat dari persepktif Teleologis. Teori etika ini dikemukakan oleh
filosof John Stuart Mill. Etika ini juga disebut sebagai utilitarianisme, yang
membawa kebahagian (atau kesenangan) terbesar bagi orang banyak. Menurut teori
ini dalam mengambil keputusan yeng berknaan dengan etika, kita harus melihat
dampak dari keputusan yang diambil. Dampak dari keputusan yang di ambil harus
membawa kebahagian bagi orang banyak atau dalam arti lainnya dampak baiknya
harus lebih besar dari dampak buruknya.
Sehingga, kalau kita hubungan dengan kasus ICW yang meminta informasi kepada
humas DPR mengenai laporan studi banding anggota DPR. Seharusnya, humas DPR
menggunakan teori etika Teleologis dalam mengambil keputusan. Humas DPR harus
melihat dampak yang di timbulkan apabila ia memberikan informasi tersebut dan
apabila ia tidak memberikan informasi tersebut. Dampak yang timbul apabila ia
tidak memberikan informasi tersebut adalah ia akan dan DPR telah melanggar UU
Keterbukaan Imformasi Publik. Selain itu karena ia tidak mmberikan informasi
mengenai laporang hasil studi banding anggota DPR, ICW tidak bisa mengatahui
kebenaran dari laoran studi banding tersebut. Dengan kata lain keputusan yang
humas DPR ambil mangakibatkan dampak buruk atau dampak negative, hal ini tidak
sesuai dengan teori etika Teleologis.
Seharusnya
humas DPR mengambil keputusan untuk memberikan informasi tersebut, dengan
mempertimbangakan dampak negative/buruk yang akan muncul bila ia tidak
memberikan informasi. Dengan memberikan informasi tersebut, humas DPR telah
menerpkan teori etika Teleologis, yaitu dengan mengedepakan kebahagian orang
lain, atau dengan kata lain mengedepakan kepentingan public dalam mengambil
keputusan. Katika humas DPR memberikan informasi tersebut juga tidak akan
menyebabkan DPR manjadi teracam. Jadi tidak ada alasan yang kuat bagi humas DPR
untuk tidak memberikan informasi tersebut.
Intinya
dalam mengambil keputusan seorang praktisi humas, harus mengedapan kepentingan
public, oleh sebab itu seorang praktisi humas harus mengunkan perspek
teleologis karena antara tuntutan profesi humas dan pandangan teori etika
teeologis mempunyai pandangan yang sama, yaitu sama-sama mengutamakan
keptingan atau kebahagian orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar