Senin, 04 Juni 2012

MENGHIDUNPKAN ATAU MEMBERDAYAKAN KEMBALI TRADISI LISAN KANTOLA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003:9-15).
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut (Nashir 1999:176).
Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua tatanan sosial tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan.
Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini, disatu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun disisi lain memberikan pengaruh negatif yang sangat signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan budaya dari generasi sebelumnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua sistem budaya yang harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, sekaligus berada diluar ikatan budaya lokal manapun. Nilainilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilainilai lain yang sesungguhnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal.
Warisan budaya mempunyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba (intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamnya hal-hal yang tertangkap panca indera lain diluar perabaan, seperti musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008:207). Sastra lisan, melalui kaidah-kaidah irama bunyinya, dapat berperan serta dalam mendokumentasikan unsur-unsur kebudayaan tertentu sehingga dapat diwariskan pada generasi berikutnya.
Tradisi lisan merupakan cikal bakal munculnya seni dan sastra dalam komunitas kehidupan Masyarakat Muna. Cerita-cerita yang acapkali dituturkan oleh orang tua kepada anak cucunya pada masa lalu merupakan bentuk tradisi lisan yang dikemudian hari berkembang menjadi sastra lisan. Namun, dalam proses selanjutnya perkembangan tradisi lisan cukup memprihatinkan. Hanya sebagian kecil saja yang dapat didokumentasikan dalam lembaran-lembaran kertas. Karya sastra yang berbau tradisi lisan tidak lagi sesuai dengan minat generasi muda yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung unsur budaya pop media elektronik.
Perkembangan tradisi lisan hanya menjadi bagian terkecil dari perkembangan budaya pada satu komunitas. Hal itu tentu tidak lepas dari minat para pelaku budaya itu sendiri yang sudah semakin jauh meninggalkan tradisi tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan tidak didukungnya tradisi lisan menjadi bagian integral dari proses perkembangan budaya dalam satu komunitas yang cenderung bergerak dinamis saat ini. Pemerintah sendiri seolah-olah mengabaikan pengenalan ataupun pembelajaran sastra lisan.
Contoh yang paling kongkret dari ketiadaan dukungan tersebut adalah pengenalan tentang sastra lisan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang dikembangkan hanyalah untuk mempelajari dan memberikan pemahaman umum terhadap karya sastra tulis. Pembelajaran dan pemahaman terhadap sastra lisan tidak memperoleh porsi yang seimbang. Inilah oposisi biner yang pertama diterapkan terhadap sastra yang sekaligus mensubordinasi sastra lisan sebagai sastra kelas dua (Ratna, 2006:328).
Pemerintah selama ini tampaknya hanya berusaha untuk memajukan kebudayaan nasional. Padahal pemerintah diharapkan juga menggali dan memperkenalkan kekayaan khasanah kebudayaan lokal. Kenyataan di masyarakat terjadi frakmentasi antara satu produk budaya dengan produk budaya lainnya. Produk budaya yang dianggap sebagai antibudaya itulah yang dianggap sebagai kebudayaan nasional, walaupun kebudayaan nasional bersumber dari kolektivitas budaya-budaya lokal. Akibatnya timbul diskriminasi terhadap produk budaya lokal yang tersebar di seluruh wilayah pelosok nusantara. Terjadinya pemutusan tradisi selama rezim Orde Baru yang sangat hegemonik sentralistik danmenekankan keseragaman sehingga me ngakibatkan keragaman budaya lokal sering terabaikan. Tidak mengherankan, banyak budaya lokal yang kemudian sedikit demi sedikit hilang, bahkan ada yang punah.
Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pendukungnya.Tradisi lisan memiliki peranan dan fungsi untuk menguatkan ketahanan budaya bangsa. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian banyak tradisi lisan yangmulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan proses perkembangan sastra tulisan.
Tradisi Lisan kantola merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari daerah Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai produk kultural yang dihasilkan bertatanan tradisional, yang pada prinsipnya kantola memiliki karakteristik umum yang sama dengan sastra lisan daerah lain di tanah air. Sebagai sastra lisan, keberadaan kantola pada masyarakat Muna merupakan kristalisasi kultural dalam kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang seiring dengan kemapanan tradisi masyarakatnya. Pada saat tradisi berproses secara alami mengalami stagnasi akibat perubahan sosial, maka keberadaan kantola sebagai tradisi lisan turut melemah. Hal semacam ini berakibat fatal terhadap perkembangan tradisi lisan kantola yang semakin teralienasi dari masyarakat Muna, akibat dampak dari modrnisasi.
Tradisi lisan kantola merupakan tradisi lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna sebagai media ekpresi yang lirik-liriknya bermuatan perasaan, pengalaman pribadi, dan dimensi kemasyarakatan. Lirik kantola terdiri atas beberapa baris yang jumlahnya tidak menentu; ada lirik yang panjang (sepuluh sampai lima belas baris) dan ada lirik yang pendek (empat sampai lima baris). Penyampaian lirik kantola tidak secara lugas, tetapi dikiaskan melalui simbolsimbol yang ada. Oleh Karena itu, untuk mengetahui kandungan makna yang terdapat dalam lirik kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretative terhadap simbol-simbol tersebut (Aderlaepe, 2006:51).
 Pada mulanya, tradisi lisan kantola ini sangat diminati oleh masyarakat Muna, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meskipun tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan, tradisi lisan ini tetap dilestarikan secara turun temurun, dari mulut kemulut. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya arus globalisasi di bidang teknologi dan informasi yang merasuki wilayah budaya lokal, maka keberadaan tradisi kantola ini, sudah mulai terpinggirkan bahkan sudah mulai menunjukan gejala-gejala terlupakan. Hal ini tercermin pada pertunjukan tradisi kantola yang semakin jarang dijumpai pada masyarakat Muna, karena semakin berkurangnya pelaku tradisi ini, dan juga tidak adanya regenerasi dari gerasi tua kegenerasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam tradisi lisan kantola. Generasi muda sudah tidak menginginkan lagi tradisi lisan kantola yang dianggap sebagai tradisi kuno. Maka bukan hal mustahil tradisi lisan kantola berada di ambang kepunahan apabila tidak dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal.
Dampak yang lebih jauh akan terasa dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal, maka perlu menghidupkan atau memberdayakan kembali kearifan lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan lisan ini disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Stigma semacam itu menyebabkan generasi sekarang enggan memelihara dan mempertahankan tradisi lisan tersebut.
Harkat suatu masyarakat sangat ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya yang mejadi ahli waris sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi yang disebut sadar budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman dikalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada ditengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan plural. Disamping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensi dan menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain. Persoalan hakiki inipun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal. Oleh karena itu, masalah pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apapun yang dipandang baik (Sayuti, 2008: 25-26). Dengan demikian, menghidupkan atu memberdayakan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan sangatlah mendesak untuk dilakukan, sebagai bagian dari sadar budaya agar tetap dapat menjaga dan mempertahankan keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal.
Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada didalam suatu proses, di dalam kancah hubungan antarabudaya yang selalu terjadi tanpa dapat dihindari. Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh - pengaruh globalisasi yang terus merambah dan berkecambah. Menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Identitas itu sendiri menjadi sebuah persoalan saat warisan masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang menciptakan hegemoni budaya. Krisis identitas muncul ketika warisan budaya yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat dipertahankan lagi karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dariluar.
Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses mengidupkan atau memberdayakan kembali tentunya dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang dimemiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandungdidalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.
Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya lokal sebelum rantai pewarisnya terputus dan sebelum terjadinya profanisasi budaya lokal yang dianggap bermakna oleh suatu komunitas budaya tertentu. Menghidupkan atau memberdayakan  budaya lokal, terutama kantola harus terus digali, diperkuat, dan dikembangkan dalam rangka menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut. Sosialisasi konsep - konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus menerus, dari generasi ke generasi, agar keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal dapat terus dipertahankan keberlanjutannya.
Menghidupkan kembali budaya lokal tidak dengan sendirinya disebut revitalisasi. Revitalisasi sejatinya berfungsi untuk menjadikan budaya lokal sebagai sesuatu yang sangat berguna, bermanfaat, dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Sibarani, 2004: 31). Menurut      Sibarani, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan revitalisasi, antara lain: 1) mendorong setiap kebudayan etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi dengan menghindari dominasi kebudayaan mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan penyeragaman kebudayaan; 2) membangun perkampungan budaya (cultural village) sebagai wadah transfer budaya, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya; 3) segala bentuk pembangunan harus dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat; 4) melibatkan masyarakat setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan; 5) melibatkan “orangorang budaya” dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap pembangunan.
Penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan tradisi lisan kantola dalam kaitannya dengan menghidupkan atau memberdayakan kembali  tradisi lisan. Kantola sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pijakan kehidupan bermasyarakat dalam ruang lingkup masyarakat Muna. Penelitian ini merupakan penelitian budaya dengan permasalahan menyangkut bentuk, fungsi dan makna menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola, di mana kantola yang dalam syair - syairnya, bermuatan multidimensional yang sarat makna.
1.1.2 RUMUSAN MASLAH
            Masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola Msyarakat Muna pada era globalisasi ?”
1.2  TUJUAN
1.2.1  Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami serta mendeskripsikan tradisi lisan kantola dan menggali informasi tentang menghidupkan atau memberdayakan kembali terhadap tradisi lisan tersebut pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara.
1.2.2  Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk menghidupkan  atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi   Tenggara pada era globalisasi;
2. Untuk mengetahui fungsi menghidupkan atau memberdayakan kembali  tradisi lisan   kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;
3. Untuk memahami dan menginterpretasikan makna menghidupkan atau meberdayakan kembali tradisi  lisan  kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi.
1.3     MANFAAT
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfat sebagi berikut:
1.   Dapat dijadikan sebagai bahan ajar tambahan ( muatan lokal ) di sekolah – sekolah SMP maupun SMA pada pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.
2.   Salah satu upaya pelestarian dan pencegahan dari ancaman kepunahan sastra daerah lisan dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional di tengah – tengah perkembangan zaman.
3.   Sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut sastra daerah muna.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sastra
            Perkamin dalam (Badudu, 1985 : 5) mengemukakan bahwa yang disebut kesustraan adalah semua tulisan atau karangan indah yang bernilai atau yang arti didalamnya tercapai keseimbangan antara isinya yang indah yang dapat dilahirkan dalam bentuk bahasa yang indah pula.
            Secara kata kesustraan berasal dari kata dasar susastra, terjadi su dan kata dasar sastra.Su berarti, bagus dan indah; sastra dalam bahasa sangsengkerta sastra berasal dari kata cas sama dengan belajar, akhiran ra berarti yang harus … ( Erna, 1986 : 4 ).
            Berdasarkan arti katanya, maka yang disebut kesustraan itu adalah semua tulisan atau karangan yang indah, yang bernilai, artinya yang didalam terdapat keseimbangan antara keindahan isi yang dapat dilahirkan dengan bentuk bahasa yang indah. Lebih lanjut bahwa arti kesustraan yang diambil dari kata itu pada hakekatnya tidak mencakup apa yang disebut seni sastra ini, sebab seni sastra termasuk pula segala ucapan dan cerita atau deongeng yang tidak ditulis ( lisan). Jadi,  kesustraan dalam pengertian yang luas adalah segalah hal kegiatan manusia yang bersifat seni yang memakai bahasa semsta – mata hanya sebagai alat.
            Berdasrkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahawa kesustraan adalah sebuah ciptaan yang serius dalam bentuk lisan maupun tulisan yang memiliki keindahan bahasa yang merupakan luapan perasaan jiwa manusia yang didapat dari pengalaman hidupnya.

2.2 Sastra Lama
            Pengerian kesustraan lama sebenarnya masi mempunyai acuan yang sangat luas, termaksut sastra fiktif ( prosa dan puisi ), dan karya sastra yang berifat nonfiktif yaitu kritik esai prosa mencakup legenda, hikayat, sissilan atau sejarah dan pelipur lara, ( Erna, 1986 : 15 ). Lebih lanjut lagi bahwa wujud kesustraan lama adalah kesustraan yang tidak tertulis, kesustraan yang awal perwujudanya berbentuk lisan, serta ini dibawa secara turun temurun dari mulut kemulut, orang tua kepada anaknya atau pelipur lara dan sebagainya ( Ema 1986 :16 ).
            Perbandingan dengan kesustraan tertulis antara lain seperti nyang dikemukakan oleh Teuuw ( 1982 : 78 ), bahwa sastra terulis tidak memerlukan komunikasi secara langsung antra penikmat dan pencipta, sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan dan dibawakan secara bersama – sama.
2.3 Sstra Lisan
            Sastra lisan adalah karya sastra yang diciptakan dan disampikan secara lisan dengan mulut, baik dalam pertunjukan maupun luarnya, ( Hutomo 1983 : 87 ).
            Menurut balawa (1991 : 23 ) bahawa sastra lisan adalah sastra yang hidup dan berkembangan pada zaman klasik, dan diakui sebagai milik bersama di tengah – tengah masyrakat. Jenis – jenis sastra lisan itu yakni dongeng, cerita rakyat, legenda, mite, sage, gurindam dan hikayat.    
            Hutomo ( 1983: 87 -88 ), sastra lisan atau kesustraan adalah kesustraan yang menyangkut ekspresi warga suatu kehidupan yang disebar luaskan dan turun - temurun secara lisan dari mulut kemulut. Ciri – cirri sastra lisan menurut Hutomo adalah sebagai berikut :
1.      Anonim, yaitu karya – karya sastra lisan itu sudah tidak diketahui lagi siapa pengarangnya.
2.      Statif, yaitu baik isi cerita maupun bentuknya sangat lamban perkembanganya.
3.      Religiusitas, yaitu karya - karya itu berhubungan dengan agama kepercayaan yang dianut.
4.      Klise imitatif, yakni baik isi maupun bentuknya selalu meniru yang ada sebelumnya.
2.4  Menghidupkan Atau  Memberdayakan Kembali Tradisi Lisan Kantola
Setiap masyarakat mempunyai seperangkat tradisi lisan yang harus digali dari pengalaman hidup mereka pada masa lalu. Tradisi lisan merupakan produk budaya masa lalu yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus, yang kesemuanya itu dianggap baik sehingga patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Tradisi lisanmerupakan semua kecerdasan tradisional yang ditranformasikan ke  dalam cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan hidu dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah.
Maka untuk itu diperlukan kesungguhan dan kerja secara sistematis dan periodik yang sangat kuat, serta diakrabkan kembali pada masyarakat pendukungnya dalam mempertahankan eksistensi warisan budaya lokal yang merupakan penunjang kebudayaan nasional. Untuk itu, langkah penting harus segera dilakukan pemerintah dan lembaga non-pemerintah serta masyarakat pendukung untuk terus proaktif dalam upaya penyelamatan dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya. Sebagai warisan budaya, tradisi lisan kantola, terus diupayakan pelestariannya, seperti tampak pada pertunjukan tradisional secara periodik, pengintegrasian kantola dalam berbagai bentuk pantun, aktualisasi kantola dalam masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelestarian tradisi lisan kantola.

Demikian pula halnya dengan masyarakat Muna, sebagai masyarakat yang  bisa dikategorikan sebagai masyarakat berbudaya. Masyarakat Muna memiliki tradisi lisan yang telah menjadi sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum serta lingkungan di tengah-tengah kehidupan mereka. Tradisi lisan pada masyarakat Muna bersifat  dinamis berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya, serta memiliki ranah dan dimensi yang sangat luas mulai dari sifatnya yang sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Masyarakat Muna, menciptakan dan mengembangkan tradisi lisan yang di dalamnya tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku dan bertindak, baik dalam hubungan mereka dengan sesama manusia, dengan alammupun dengan kuasa.
 Tradisi lisan dalam masyarakat Muna dikemas berdasarkan pengalaman dalam berinteraksi dengan alam di sekitar mereka, dengan sesama orang Muna, dan dengan Kakawasa Ompu (Tuhan Yang Maha Esa). Pengalaman dan pengetahuan empirik yang diperoleh terus diwariskan dan dikembangkan serta dipertahankan melalui proses pembelajaran dari generasi ke generasi, di mana bahan ajar dalam proses pembelajaran tersebut tidak tertulis, tetapi tersimpan disetiap kepala masyarakat Muna, terutama para tetua adat dan tokoh-tokoh masyarakat Muna.  Koentjaraningrat (1992: 79) menyebut proses pembelajaran seperti ini sebagai pembudayaan atau biasa pula dikenal dengan istilah institusionalisasi yaitu proses belajar yang dilalui oleh setiap orang selama hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan masyarakatnya.
Sebagai produk budaya masa lampau tradisi lisan yang memiliki dimensi yang sangat luas (Ife, 2002: 301), maka kajian tradisi lisan masyarakat Muna sebagai grand issu kajian ini, lebih difokuskan pada upaya pengidentifikasian perangkat-perangkat tradisi lisan masyarakat Muna yang kiranya dapat direvitalisasi sebagai model tradisi lisan, khususnya tradisi lisan masyarakat Muna berbasis budaya tradisonal. Hasil eksplorasi dan upaya revitalisasi tersebut akan diberikan pada bagian-bagian berikut ini.
2.5  Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola secara Periodik
Akhir-akhir ini krisis kebudayaan yang melanda dunia, bukan hanya mengakibatkan keterpinggiran ilmu-ilmu budaya oleh perkembangan teknologi dan media yang sangat pesat, tetapi juga berdampak pada terpuruknya apresiasi masyarakat, terutama generasi muda, terhadap produk-produk tradisi lisan yang tak ternilai harganya, selain unsur filosofis dan nilai etis yang terkandung di dalamnya. Mayoritas generasi muda lebih suka menikmati dan menggeluti produk-produk budaya modern dan pop, dan beranggapan bahwa produk-produk tradisi lisan yang bernuansa tradisional merupakan bagian dari masa lalu yang tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang dianggap modern, hingga kini.
Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut, termasuk pemerintah, harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang terus mengancam eksistensinya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya mendorong pelestarian tradisi lisan.
Upaya untuk mempertahankan dan meningkatan apresiasi masyarakat terhadap tradisi lisan kantola adalah pertunjukan tradisi lisan kantola harus dilakukan secara periodik. Peningkatan apresiasi masyarakat tentu saja akan membuka peluang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi lisan semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Tradisi lisan memiliki kekuatan yang bisa mempengaruhi rancang bangun kebudayaan nasional karena tradisi lisan merupakan produk estetis simbolis masyarakat yang berakar pada pengalaman sosiokultural sehingga di dalamnya terkandung kearifan dan nilainilai mulia (Sutarto, 2004: 1). Pengalaman sosiokultural ini menjadi sesuatu yang berharga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat dalam menghadapi derasnya arus globalisasi yang setiap saat dapat mengancam segala aktivitas kultural, termasuk keberadaan tradisi lisan.
Sutarto lebih jauh mengungkapkan bahwa tradisi lisan telah menjadi korban perubahan dari budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan bahkan lambat laun akan hilang di muka bumi. Gejala keterpurukan dan kepunahan sudah tampak di pelupuk mata dan ini tidak semestinya terjadi. Jika hal ini dibiarkan maka bangsa Indonesia sebagai bangsa besar, dengan  berbagai jenis tradisinya yang tak terhingga jumlahnya, akan kehilangan produkkebudayaan. Apabila tidak terjadi  peningkatan apresiasi, tradisi lisan akan gagaln memenangi dukungan masyarakat (communal support) dan dukungan pasar (financial support). Dukungan masyarakat akan melemah dan dengan sendirinya pewaris tradisi lisan akan makin berkurang pula. Banyak di antara kita yang tidak sadar dengan fakta bahwa aktivitas kedaerahan kita telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan, oleh peristiwa atau agen yang jauh (Giddens, 2003: 9).
Budaya global mampu menebus batas-batas dan sekat-sekat lokalitas masyarakat mana pun di belahan bumi ini. Dia menjadi agen perubahan yang seolah-olah memiliki remote control dalam mengendalikan segala aktivitas masyarakat sesuai yang dia inginkan. Anggapan ini melekat dalam masyarakat bahwa globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produk-produk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan terserap ke dalamnya atau malah sebaliknya, sehingga terjadi tarik menarik di antara keduanya. Dalam hal ini, terjadi pertemuan antara globalitas dan lokalitas.
Swellengrebel (Astra, 2009: 125) menyebutkan pertemuan antara tradisi besar (great tradition) dengan tradisi kecil (little tradition) vis a vis. Menurut Astra, tradisi besar tidak pernah mampu mencerabut tradisi kecil yang memang sudah mengakar di bumi Nusantara. Kekuatan budaya lokal terwujud dalam bentuk kearifan lokal (lokal genius) yang mampu menyaring hal-hal positif dari tradisi besar sehingga memperluas cakrawala budaya dan meningkatkan adab bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya global memiliki daya tersendiri, magnet yang memiliki daya tarik yang kuat. Dia mampu memutar balikkan fakta sehingga lambat laun tradisi kecil akan tercerabut dari akarnya. Akhirnya, pemikiran konvensional akan terus bermunculan yang beranggapan bahwa produk budaya lokal itu kuno ketinggalan zaman sehingga tidak menarik, sementara budaya global itu selalu bagus dan menarik dimata masyarakat yang telah dipengaruhi oleh budaya global.
Pertunjukan tradisi lisan kantola merupakan satu dari beberapa pertujukan berbalas pantun yang menampilkan berbagai unsur pertunjukan tradisional yang ada pada masyarakat Muna, yang diselenggarakan pada acara pasca perkawinan, syukuran, sunatan, pingitan, dan pasca panen. Keberadaan kantola yang sekarang ini sudah mulai hilang atau memudar dikalangan masyarakat Muna.
Mulanya penyelenggaraan pertunjukan tradisi lisan kantola sebagai sarana hiburan bagi masyarakat daerah Muna sejak dahulu. Manakala ada acara kantola, orang beramai-ramai mengunjungi keramaian itu untuk mendengarkan kantola yang ditampilkan pada waktu itu. Orang-orang tua, anak-anak, lebih-lebih para pemuda dan pemudi tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Dalam kondisi seperti itu kantola berperan sebagai sarana jumpa sehingga momentum itu dapat digunakan untuk menggalang massa. Lewat kantola kita dapat memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi mempunyai kesempatan seperti itu dapat digunakannya untuk memperluas pergaulan. Lebih dari itu dapat pula digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup.
2.6 Foklor Lisan Daerah Muna Sulawesi Tenggara
Foklor lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) ungkapan tradisional (palenda “sindiran”, falia “pemali”); (b) nyanyian rakyat ( modero ‘nyanyian rakyat dilakukan pada saat merayakan musim panen pertanian’ , kantola ‘'berbalas pantun’, kabhanti gambusu ‘nyanyian rakyat dilakukan  pada saat merayakan musim panen pertanian,pesta-pesta rakyat ); (b) bahasa rakyat (patamondono ‘tokoh masyarakat’, modhi anahi ‘tokoh agamalebih  muda’, modhi kamokula ‘tokoh agama  yang lebih tua, koghoerano/kosangiano ‘yang berkuasa dala satu kampung’ , aro desa ‘julukan mantan kepala desa; (d) teka-teki (wata-watangke’ bentuk tanya jawab yang yang biasanya dilakukan anak-anak)  (e) cerita rakyat (kapu-kapuuna ‘dongeng’. Misalnya:   kapoluka bhe ndoke ‘cerita rakya kura-kura denga monyet’ , kau-kaudara ‘bentuk nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan seorang ibu saat menidurkan anaknya  Foklor setengah lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) drama rakyat (…….); (b) tari ( Linda ‘ tarian biasanya diperankan dipanggung saat proses pernikahan’, owele ‘sejenis tarian biasanya diperankan anak muda dan orang tua sebelum proses pernikahan ); (c) upacara ( kampua ‘upacara pencukuran rambut bayi yang berumur sekitar 44  hari, kasambu ‘upacara ini dilaksanakan apabila bayi dalam kandungan telah berumur tujuh bulan’, katoba ‘uapaca pengislaman seorang anak yang berusia 7- 10 tahun’,  karia ’upacara pembinaan menta anak wanita apabila telah mencapai usia 13 tahun atau pada haid pertama’,  kagaa ‘upacara perkawinan , omate ‘upacara  kematian’. Upacara kematian terbagi atas: a)  kakadiu ‘upacara pembersihan mayat  sebelum di kubur’ , oalo ‘ upacara malam keempatnya’, oefitu, ‘upacara malam ketujuh’  omoghono ‘upacara malam ke seratus’ , patai ‘upacara hari ketiga, , oseriwu ‘upacara hari ke seribu’. Upacara di bidang pertanian yakni: 1) Kafematai adalah upacara penaburan bibit pertama yang bertujuan agar tanaman tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan pemilik kebun selalu sehat dan selamat; 2) Kafindahino wite atau katambori atau kasolono wite adalah upacara pertama waktu membuka ladang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanahnya cocok untuk diolah atau tidak; 3) Kaago-ago adalah upacara menyambut kedatangan musim barat yakni memohon keselamatan dan meminta bantuan pada makhluk ghaib supaya dalam musim ini terhindar dari marabahaya dan produksi jagung berhasil dengan baik; 4) Kaghotino Katumpu adalah memberi hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada pohon-pohon  yang telah mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umat manusia; 5) Kafotobo adalah upacara yang dilaksanakan ketika tanaman jagung mulai berbunga; 6) Kabelai adalah upacara yang dilaksanakan ketika bakal buah jagung mulai ada, dengan tujuan agar bakal buah cepat berisi dan berbuah bagus; 7) Katumbu adalah upacara berupa pesta yang biasanya dihadiri oleh sejumlah undangan sebagai tanda syukur kepada makhluk ghaib yang telah memelihara tanaman jagung hingga berhasil; 8) Katongka adalah upacara panen kedua, yang dilaksanakan ketika jagung berumur 90 hari yaitu ditandai pada kulitnya yang telah mulai kering. (d) permainan dan hiburan (tunuha ‘perayaan kesyukuran atas hasil pertanian mereka yang dihadiri masyarakat umum, pokadudi ’jenis mainan anak-anak atau dewasa yang terbuat dari kayu dengan menggunakan biji-bijian’ , polangkakope ‘sembunyi-sembunyi’, pohule ‘jenis mainan anak-anak yang terbuat dari kayu berbentuk runcing ujungnya yang biasanya dipertandingkan dalam masyarakat’, pokaghati ‘layang-layang; (e) adat kebiasaan ( pokaowa ‘kegiatan tolong menolong/saling membantu secara bergiliran, pokadulu’ kegiatan sosial dalam masyarakat secara bergotong royong), (f) pesta rakyat (…………..).
Foklor nonlisan terdiri atas: (a) material (mainan: poelo ‘ main kelereng’, pobente ‘berkejar-kejaran sampai dapat’, pakaian:  bheta kamooru ‘sarung tenunan’, makanan:  kambose ‘ jagung tua yang di rebus’ makanan khas Muna’, obat-obatan: rokapaea ‘daun pepaya’ obat sakit malaria’, (b) bukan material (osuli ‘seruling’, kapu-puu ‘terompet yang bahannya  dari batang padi dan janur’.
Tradisi lisan dalam masyarakat Muna meliputi antara lain: (a) sastra lisan (..........); (b) teknologi tradisional (kagili ‘alat penggiling  jagung muda yang terbuat dari kayu’, pando newulu ‘tombak yang terbuat dari bamboo yang digunakan untuk menombak babi atau anjing’,  katumbu ‘alat penumbuk jagung atau padi yang terbuat dari kayu); (c) unsur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, misalnya (kantisele/ karoro ‘proses pengobatan  tradisional melalui mantra-mantra’ , ghoti isa ‘ritual yang bertujuan untuk memudahkan mendapat rezeki atau kemudahan dalam  segala urusan.
2.7  Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara
Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat mengacu pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan, yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat tercermin, antara lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan konteks budaya. Adapun masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang bermukin dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan Daerah Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki hak otonom  dalam hal pemerintahan sehingga memiliki status sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi  masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik yang berada di kabupaten muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua kecamatan Bata Laiworu, Desa Wakorambu, bukan pada wilayah kabupaten Muna secara keseluruhan.
2.8  Era Globalisasi
Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan kata yang diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola dunia’ (Poerwarminta, 1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata globalisasi yaitu gejala terbentuknya system organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama. Sistem-sistem yang bersifat global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang makin lamamakin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang diukur dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23).
Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atasmaka dapat dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu jaman atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama atau hampir sama.
Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati diri yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi lisan kantola, sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya.
Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal sehingga dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kultural tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya lokal sebagai kebutuhan dalam menyejahterakan masyarakat. Adapun indikator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain:
1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal.
2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi.
3. Membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat.
4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya.
5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal.
2.9  Teori Hegemoni
Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari segi tradisi, yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan secara perlahan yang melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal, sehingga berdampak pada kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme.Hal ini bisa  berdampak dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan lisan disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji dengan menerapkan teori hegemoni Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk menelaah masalah mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada pengetahuan tanpa ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977).Selanjutnya Foucault menawarkan tiga konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan; (2) praktik - praktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan yang gila, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan lawan; (3) teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan praktik-praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna diwacanakan sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain.
Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan hubungan dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi kesepahaman dengan penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga hegemoni merupakan organisasi konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke dalam. Namun demikian, yang berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang diperoleh bukan atas penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang dalam menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang menaklukkannya.
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial lainnya, yakni melalui institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat (Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni menurut Gramsci pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan kesadaran kritis mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa seolah-olah kelompok penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang tertindas dalam berekspresi. Namun, sesungguhnya hal itu adalah strategi yang diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak terlihat adanya tekanan bagi kaum tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara hidup dan pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang disebarkan ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan politik, serta seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan moral (Fakih, 2000).
Dalam konteks konsensus, Gramsci mengajukan tiga kategori konformitas/ penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku yang mempunyai tingkatan-tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsurunsur tertentu dalam masyarakat (Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan dipertahankan dan dimodifikasi.
Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar, sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan dalam masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang sedang dialami oleh masyarakat Muna.
Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam penelitian ini yakni tentang menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan penghambat tersebut dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan ada yang berasal dari luar masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak lain. Begitu pula dengan kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai strategi dalam mengembangkan identitas tidak terlepas dari peranan masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga adanya campur tangan pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah daerah dan masyarakat saling berinteraksi.
Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilainilai tradisi lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap perkembangan budaya masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.
BAB III
METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, makapenelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penggunan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, factual, dan akurat dengan menggunakan kata – kata atau kalimat. Semuanya diuraikan sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan penelitian.
3.2 Jenis Penelitian
            Ditinjau dari data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka penelitian ini tergolong penelitian lapangan karena peneliti terlibat langsung kelapangan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
3.3 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah tradisi lisan kantola yang digunakan Masyarakat Muna bertdasrakan bentuk, funsi, dan maknanya.Tradisi lisan kantola tersebut langsung dicatat dari informan yang menuturkanya.Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para orang tua yang berdomisili di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu, Kabupaten Muna.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, peneliti mendatangi dimana tempat dimana informan sedang menggunakan tradisi lisan kantola secara langsung. Untuk memperoleh data yang diperlukan pada objek penelitian maka dalam tahap tersebut peneliti menngunakan beberapa teknik diantaranya: teknik wawancara teknik catat.
1.      Pada teknik wawancara penulis mewawancarai informan atau yang menuturkanya untuk menjelaskan atau menyebutkan tradisi lisan kantola.
2.      Teknik catat, digunakan untuk mencatat hal - hal penting dari kegiatan wawancara untuk mendpatkan informasi tambahan yang berkaitan denganobjek penelitian yang dimaksud. 
3.5  Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk kata – kata atau kalimat yakni menguraikan menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola pada Masyarakat Muna yang terdapat di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu.
            Analisis data menggunakan dan pendekatan structural yaitu pendekatan yang memandang karya sastra terdiri atas seperangkat struktur yang berhubung satu sama lainya dan bersifat otonom, kemudian dengan menggunakan prosedur sebagai berikut:
1.      Mengklasifikasikan data.
2.      Penyajian data yaitu menyajikan data penelitian berdasarkan klasifikasi yang sudah diambil dari informan yang telah menuturkan tradisi lisan kantola.
3.      Mengidentifikasi makna yang terdapat disetiap kalimat tradisi lisan kantola.
4.      Menganalisis bentuk fungsi dan maknasetiap kalimat penggunaan tradisi lisan kantola berdasarkan yang telah di identifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar