Senin, 04 Juni 2012

KARAKTERISTIK TELEVISI


BAB II
PEMBAHASAN

A.      KARAKTERISTIK TELEVISI

1.       Bersifat Tidak Langsung

Televisi adalah satu jenis dan bentuk media massa yang paling danggih dilihat dari sisi teknologi yang digunakan, dan paling mahal dilihat dari segi investasi yang ditanamkan. Televisi sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit. Inilah yang disebut media teknis. Sebagai contoh, tanpa listrik, siaran televisi tak mungkin bisa diudarakan dan diterima pemirsa di mana pun. Investasi yang harus ddikeluarkan untuk mendirikan erbuah stasiun televisi komersial, yang dikelola secara professional dengan lingkup nasional, mencapai ratusan miliar rupiah.

Sifat padat teknologi dan padat modal inilah yang menyebabkan televisi sangat kompromistik dengan kepentingan pemilik modal serta nilai-nilai komersial arus kapitalisme global. Salah satu eksesnya, bahasa televisi tidak jarang tampil vulgat. Sarat dengan dimrnsi kekerasan dan sadism, atau bahkan terjebak dalam eksploitasi seks secara vulgar. Kecaman demi kecaman pun terus mengalir dari public yang peduli masa depan bangsa.

2.       Bersifat Satu Arah

Siaran televisi bersifat satu arah. Kita sebagai pemirsa hanya bisa menerima berbagai program acara yang sudah dipersiapkan oleh pihgak pengelola televisi. Kita tidak bisa menyela, melakukan interupsi saat itu agar suatu acara disiarkan atau tidak disiarkan.

Menurut teori komunikasi massa, kita sebagai khalayak televisi bersifat aktif dan selektif. Jadi meskipun siaran televisi bersifat satu arah, tidak berarti kita pun menjadi pasif. Kita aktif mencari acara yang kiya inginkan. Kita selektif untuk tidak menonton semua acara yang ditayangkan. Tetapi kehadiran alat ini pun, tidak serta-merta mengurangi tingkat kecemasan masyarakat, terutama kalangan pendidik, budayawan, dan agamawan.

3.       Bersifat Terbuka

Televisi ditujukan kepada masyarakat secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh daya pancar siarannya. Artinya, ketika siaran televisi mengudara, tidak ada lagi apa yang disebut pembatasan letak geografis, usia biologis, dan bahkan tingkatan akademis khalayak. Siapa pun dapat mengakses siaran televisi. Di sini khalayak televisi bersifat anonym dan heterogen.
Karena bersifat terbuka, upaya yang dapat dilakukan para pengelola televisi untuk mengurangi ekses yang timbul adalah mengatur jam tayang acara.

4.       Publik Terseber

Khalayak televisi tidak berada di suatu wilayah, tetapi terserbar di berbagai wilayah dalam lingkup local, regional, nasional, dan bahkan internasional. Kini, di Indonesia tumbuh subur stasiun televisi local yang siarannya hanya menjangkau suatu kota, atau paling luas beberapa kota dalam radius puluhan km saja dari pusat kota yang menjadi fokus wilayah siarannya itu. Di Bandung saja, terdapat tiga stasiun televisi lokal. Dalam perspektif komersial, publik tersebar sangat menguntunkan bagi para pemasang iklan. Untuk televisi komersial, iklan adalah darah dan urat nadi hidupnya.

5.       Bersifat Selintas

Pesan-pesan televisi hanya dapat dilihat dan didengar secara sepintas siarannya tidak dapat dilihat dan dedengar ulang oleh pemirsa kecuali dalam hal-hal khusus seperti pada adegan ulang sercara lambat, atau dengan alat khusus seperti perekam video cassette recorder (VCR). Sifatnya yang hanya dapat dilihat sepintas ini, sangat memengaruhi cara-cara penyampaian pesan. Selain harus menarik, bahasa pesan yang disampaikan televisi harus mudah dimengerti dan dicerna oleh khalayak pemirsa tanpa menimbulkan kebosanan (Wahyudi, 1986:3-4).

B.       PRINSIP MENULIS UNTUK TELEVISI

1.       Gaya ringan bahasa sederhana

Tulislah naskah dengan gaya yang ringan dan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dengan singkat dan mudah. Kalimat dalam naskah berita harus maksimal terdiri atas 20 kata, satu kalimat satu gagsan, menghindari anak kalimat, ubah gaya biokrat dan militeristik menjadi ungkapan lugas dan mudah dimengerti masyarakat luas.

2.       Gunakan prinsip ekonomi kata

Prinsip ekonomi kata  (word economy) adalah prinsip penggunakan kata-kata secara efektif dan efisien. Cara melaksanakan prinsip ekonomi kata adalah dengan menghindarri kata-kata mubazir, seperti bahwa, oleh, adalah, untuk, agar, supaya, dari, tentang, mengenai, dan telah atau sudah pada konteks tertentu.

3.       Gunakan ungkapan lebih pendek

Gunakan kata atau ungkapan yang lebih pendek. Contoh : menggelar aksi unjuk rasa diganti dengan  berunjuk rasa atau berdemonstrasi ; menyampaikan orasi berorasi), dewasa ini (kini), dan lain sebagainya.
4.       Gunakan kata sederhana

Naskah televisi harus bias dengan mudah dimengerti oprang yang memiliki kosa kata terbatas agar bias didengar oleh masyarat luas, contoh: polisi masih mengidentivikasi korban (kalimat agak sulit dimengerti awam).

5.       Gunakan kata sesuai konteks

Gunaakan kata sesuai kebiasaan dengan memperhatikan konteks penggunaannya, khususnya dalam berita yang terkait dengan hokum. Contoh: tersangka (sebagai orangyang diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana), terdakwa (seorang tersangaka yang sudah dijatuhkan hukuman.

6.       Hindari ungkapan bombastis

Hindari ungkapan yang bias. Contoh: hancur berantakan, ludes dilalap Si jago merah, luluh lantak, dan sebgainya.

7.       Hindari istilah teknis tidak dikenal

Sebisa mungkin hindari singkatan atau istilah teknis biokratis, yuridis, dan militeristik kecuali yang sudah umum digunakan masyarakat. Contoh: JPU (jaksa penuntut umum), SPJ (surat perintah jalan) dan lain-lain.

8.       Hindari ungkapan klise dan eufemisme

Hindari ungkapan klise dan eufemisme yang bias menyesatkan. Untuk ungkapan klise, contohnya: memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat, Si jago merah, dan sebagainya.

9.       Gunalkan kalimat tutur

Kalimat-kalimat yang terdapat pada naskah berita hendaknya merupakan kalimat tutur atau percakapan (conversational) yang akrab dan santai. Kalimat tutur yang dapat diambil  sebagai contoh adalah ketika seseoran berppidato atau berceramah tanpa teks. Untuk mengkaji apakah kalimat yang ditulis merupakan kalimat percakapan, maka ucapkanlah kalimat itu.

10.   Reporter harus objektif

Dalam menyampaikan atau menulis pernyataan sumber, reporter tidak boleh terkesan terlibat atau larut dalam retorika sumber. Reporter harus tetap sebagai pemantau yang netral dan objektif. Pilih kata-kata atau ungkapan konkret karena memberikan kesan yang legih kuat, objektif dan terukur. Sedangkan kata-kata atau ungkapan abstarak bersifat subyektif karena menggunakan kata sifat.

11.   Jangan mengulang informasi

Jangan mengulang informasi yang sudah disampaikan dalam intro kebagian lain dari naskah berita. Kesalahan ini sering dilakukan reporter pemula.

12.   Istilah harus diuji kembali

Istilah-istilah harus terus-menerus diuji kembali apakah masih relevan dan kontekstual dengan situasi yang berkembang.

13.   Harus kalimat aktif dan terstruktur

Kalimat berita haruslah merupakan kalimat aktif, yaitu siapa melakukan apa dan siapa mengatakan siapa. Setiap kalimat pada naskah berita hendaknya mengikuti struktur subjek-subjek-predikat. Jangan menggunakan keterangan atau anak kalimat pembuka.

14.   Jangan terlalu banyak angka

Jangan terlalu banyak meletakkan angka dalam suatu kalimat, kecuali diberikan grafik khusus agar penonton dapat mencernah informasi yang didengarnya.

15.   Hati-hati mencantumkan jumlah korban

Jika mendapat berita yang sangat penting mengenai bencana atau kerusuhan yang harus segera disiarkan,  maka berhati-hati ketika mencantumkan jumlah koraban karena boleh jadi informasi yang kita bawakan dan catatan pada pada kepolisian berbeda dan tentu saja penonton akan merasa bahwa reporter melebih-lebihkan.

C.      KODE ETIK TELEVISI

1.       Prinsip Jurnalistik

Pada pasal 9 dikemukakan dua hal. Pada ayat (1) detegaskan, lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program factual dengansenantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas). Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan, lembaga penyiaran wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik tertulis maupun lisan, khususnya dalam program berita berbahasa Indonesia.

Apa makna dan konsekuensinya? Media televise punya kewajiban dan tanggung jawab moral seta professional untuk selalu menggunakan bahasa jurnalistik yang benar danbaik. Telebisi, sebaai media yang paling banyak pemirsanya dan paling lama ditonton dibandingkan dengan media massa lain, mengemban fungsi edukasi kebangsaan yang harus dilaksanakan secara konsisten. Apa pun program acaranya, televisi seperti ini, harus terus-menerus disuarakan oleh masyarakat. Jadi, KPI harus begigi. Jangan haya menjadi semacam dekorasi, seperti yang dikesankan selama ini.

2.       Akurasi

Soal akurasi diatur dalam pasal 10 yang mencakup Sembilan ayat. Dari Sembilan ayat itu, tujuh ayat di antaranya relevan untuk kita kutip dan bahas di sini. Ayat pertama tentang akurasi, ayat kedua tentang cek ulang, dan dan ayat ketiga tentang penjelasan pada khalayak, sengaja kita gabungkan agar enak dibaca. Selain itu agar tidak mengesankan sedang membahas pasal demi pasal sebuah rancangan undang-undang (RUU).

Dalam program factual lembaga penyiarann bertanggung jawab menyajikan informasi yang akurat. Sebelum menyiarkan fakta, lembaga penyiaran harus memeriksa ulang keakuratan dan kebenaran materi siaran.

Bila lembaga penyiaran memperoleh informasi dari pihak yang belum dapat dipastikan kebenarannya, lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada pihak khalayak bahwa informasi itu versi berdasarkan sumber tertentu tersebut.

3.       Adil

Tema adil tertuang dalam pasal 11 yang meliputi enam ayat. Karena semuanya relevan. Ayat pertama, kedua, dan ayat ketiga, masing-masing berbicara tentang informasi tidak lengkap, potongan gambar dan suara, dan tentang kewajiban member penjelasan kepada khalayak saat pengambilan potongan gambar dan suara.

Ketentuan pada ketiga ayat ini, menekankan betapa pentingnya pihak televise enjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, menghargai hak-hak tersangka, dan menghormati sekaligus memenuhi hak jawab pemirsa yang merasa dirugikan akibat tayangan program acara televise. Asas praduga tak bersalah, pada dasarnya berupa pengakuan dari pihak media televise, seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim. Selain itu, media televise jangan sampai main hakim sendiri. Harus diingat, televisi bukanlah polisi, jaksa, atau hakim. Media televisi tidak berhak dan terlarang untuk menjatuhkan vonis kepada seseorang, sapa pun dia.

4.       Tidak berpihak

Tema tentang tidak berpihak atau sikap netral, tertuang dalam pasal 12. Ayat pertama berbicara tentang fakta objektif,ayat kedua menyinggung tentang independensi pimpinan redaksi dan tanpa tekanan ketika menyiarkan suatu berita.

Ketentuan pada kedua ayat ini hendak mengingatkan beberapa hal supaya senantiasa dijadikan rujukan oleh para pengelola televisi terutama reporter dan editor, yaitu:
1.       Dalam hal apapun, kapan pun, di mana pun, dan terhadap siapa pun, media televisi harus tetap objektif dan berimbang.
2.       Pimpinan redaksi, haruslah orang atau orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi. Hanya dengan demikian, dia atau mereka tidak akan pernah tunduk kepada tuntutan yang berada di luar koridor profesi, idealism, dan integritas dirinya. Ia senantiasa lurus, istiqamah, berkepribadian tinggi, serta memiliki jiwa sertsa sikap-sikap kepemimpinan yang layak diteladani.




5.       Privasi

Pembahasan tentang privasi hanya dituangkan dala satu pasa sebagaimana terdapat dalam pasal 19. Pasal ini sejalan dengan pendapat pakar hokum pers Oemar Seno Adji tentang kemerdekaan pers dalam sallah satu karya klasiknya. Kemerdekaan pers, tulis Oemar, harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expresi seperti dikemukakan oleh Negara-negara sosialis.

6.       Pencegatan

Ketentuan tentang pencegatan deituangkan dalam pasal 22 tanpa dijabarkan dalam ayat-ayat. Bunyinya sebagai berikut. Pencegatan adalah tindakan menghadang narasunmber tanpa perjanjian unrtuk ditanyai atau diambil gambarnya. Dalam hal ini, lembaga penyiaran harus mengikuti kerenrtuan sebagai berikut. Lembaga penyiaran dapat melakukan pencegatan selama itu tidak melibatkan upaya memaksa atau mengintimidasi narasumber. Lembaga penyiaran harus menghormati hak narasumber untuk tidak menjawab atau tidak berkomentar.

7.       Eksploitasi Seks

Eklploitasi seks tertuang dalam pasal 44 yang mencakup empat ayat. Dari empat ayat itu. Ayat pertama menyinggung tentang lagu dan lirik sensual, dan ayat ketiga mempersoalkan adegan atau lirik yang bernada merendahkan perempuan.

Anehnya, media televisi komersial, paling tidak sejak tahun 2000, begitu gigih dan bersemangat menayangkan berbagai program bertema seks. Sayangnya, kegigihan itu tidak disertai dengan peningkatan inovasi dan kreativitas. Akibatnya, berbagai tayangan seks yang muncul, nyaris semuanya bersifat dangkal, sangat jauh dari kesan mencerdaskan dan memuliakan bangsa, dan bahkan cenderung lebih menempatkan kaum perempuan sebagai objek seks. Perempuan dan seks, hanya dianggap sebagai komoditas. Kecenderungan demikian, sudah selayaknya disikapi secara jernih, kreatif, dan visioner terutama oleh KPI, lembaga-lembaga pemantau media, para pemuka agama, kalanan budayawan, dan para pendidik yang setiap hari menanamkan biji-biji kebajikan pada anak didiknya.

8.       Kata-Kata Kasar dan Makin

Ketentuan tentang kata-kata kasar dan makian tertuang dalam pasal 52 yang mencakup dua ayat. Ayat pertama tertuang penggunaan kata-kata kasar, dan ayat kedua menenai cakupan bahasa yang menyiarkan kata-kata kasar dan makian itu, baik secara verbal maupun nonverbal.

Dibandingkan dengan media surat kabar dan majalah, media televisi termasuk yang paling banyak memproduksi kata-kata kasar dan makian terutama pada tayangan acara komedi dan sinetron. Bahkan yang lebih mengenaskan, kelemahan dan keganjilan pada postur tubuh, tinggi badan, berat badan, bentuk muka, bentuk bibir, warna kulit, sering dieksploitasi habis-habisan sebagai objek bahan tertawaan. Lebih menyedihkan lagi, kelemahan postur tubuh itu kerap disejajarkan dengan dunia binatang. Ada kesan, sebagian besar dari para comedian kita sangat tidak intelektual, tidak menguasai psikjologi massa, berwawasan sempit, malas berpikir, tidak kreatifk, dan egoistis.

9.       Suku dan Ras

Ketentuan tentangh suku dan ras tertuang dalam pasal 55 yang mencakup dua ayat. Ayat pertama berbicara tentang pelrcehan suku dan ras. Ayat kedua mengenai larangan penayangan kata atau perilaku yang mrerendahkan suku dan ras tertentu. Pada zaman Orde Baru, soal rasa dan suku ini termasuk masalah yang sangat sensitif, sehingga jangankan manusia, ikan-ikan di laut, burung kenari dan kijang di hutan pun, pantang membicarakannya secara tertutup atau terbuka.

Sejauh ini, media televisi, bisa disebut termasuk yang paling patuh dalam hal pelarangan penayangan hal-hal yang berkonotasi suku dan ras. Media televisi tampaknya sangat menyadari, penayangan acara atau berita jenis ini, sangat berpotensi untuk memicu konflik horizontal secara luas dan tidak terkendali. Berbagai langkah preventif harus dilakukan. Satu di antaranya dengan memutuskan untuk tidak meliput dan menayangkan gejala dan peristiwa yang berkonotasi pelecehan suku atau ras tertentu.

10.   Judi

Pembahasann tetang judi hanya dituangkan dalam satu pasal sebagaimana terdapat dalam pasal 60. Bunyinya sebagai beritkut; lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat berita, bahasan atau tema yang mengandung pembenaran terhadap perjudian.

Untuk perjudian, tak ada hal-hal yang harus diperdebatkan lagi. Artinya media massa, termasuk televisi, sangat terlarang untuk berempati atau apalagi sampai mendukung terhadap praktik-praktik penjudian dalam selgala bentuknya, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan. Bahkan secara moral, media televisi, harus terus mendorong pemberantasan praktik-praktik perjudian serta sekaligus mendorong penciptaan iklim kehidupan bebas judi di seluruh Indonesia.

4 komentar:

  1. terikasih. sangat membantu :)

    BalasHapus
  2. Banyak typo nya membuat pembaca akhirnya meragukan isinya. Di perhatikan lagi sebelum di post

    BalasHapus
  3. Banyak typo nya membuat pembaca akhirnya meragukan isinya. Di perhatikan lagi sebelum di post

    BalasHapus
  4. tolong juga sertakan sumbernya, terima kasih!

    BalasHapus