BAB II
PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK TELEVISI
1.
Bersifat Tidak Langsung
Televisi adalah satu jenis dan bentuk
media massa yang paling danggih dilihat dari sisi teknologi yang digunakan, dan
paling mahal dilihat dari segi investasi yang ditanamkan. Televisi sangat
bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit. Inilah yang
disebut media teknis. Sebagai contoh, tanpa listrik, siaran televisi tak
mungkin bisa diudarakan dan diterima pemirsa di mana pun. Investasi yang harus
ddikeluarkan untuk mendirikan erbuah stasiun televisi komersial, yang dikelola
secara professional dengan lingkup nasional, mencapai ratusan miliar rupiah.
Sifat padat teknologi
dan padat modal inilah yang menyebabkan televisi sangat kompromistik dengan
kepentingan pemilik modal serta nilai-nilai komersial arus kapitalisme global.
Salah satu eksesnya, bahasa televisi tidak jarang tampil vulgat. Sarat dengan
dimrnsi kekerasan dan sadism, atau bahkan terjebak dalam eksploitasi seks
secara vulgar. Kecaman demi kecaman pun terus mengalir dari public yang peduli
masa depan bangsa.
2.
Bersifat Satu Arah
Siaran televisi bersifat satu arah. Kita
sebagai pemirsa hanya bisa menerima berbagai program acara yang sudah
dipersiapkan oleh pihgak pengelola televisi. Kita tidak bisa menyela, melakukan
interupsi saat itu agar suatu acara disiarkan atau tidak disiarkan.
Menurut teori komunikasi massa, kita
sebagai khalayak televisi bersifat aktif dan selektif. Jadi meskipun siaran
televisi bersifat satu arah, tidak berarti kita pun menjadi pasif. Kita aktif
mencari acara yang kiya inginkan. Kita selektif untuk tidak menonton semua
acara yang ditayangkan. Tetapi kehadiran alat ini pun, tidak serta-merta
mengurangi tingkat kecemasan masyarakat, terutama kalangan pendidik, budayawan,
dan agamawan.
3.
Bersifat Terbuka
Televisi ditujukan kepada masyarakat
secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh daya pancar
siarannya. Artinya, ketika siaran televisi mengudara, tidak ada lagi apa yang
disebut pembatasan letak geografis, usia biologis, dan bahkan tingkatan
akademis khalayak. Siapa pun dapat mengakses siaran televisi. Di sini khalayak
televisi bersifat anonym dan heterogen.
Karena bersifat terbuka, upaya yang
dapat dilakukan para pengelola televisi untuk mengurangi ekses yang timbul
adalah mengatur jam tayang acara.
4.
Publik Terseber
Khalayak televisi tidak berada di suatu
wilayah, tetapi terserbar di berbagai wilayah dalam lingkup local, regional,
nasional, dan bahkan internasional. Kini, di Indonesia tumbuh subur stasiun
televisi local yang siarannya hanya menjangkau suatu kota, atau paling luas
beberapa kota dalam radius puluhan km saja dari pusat kota yang menjadi fokus
wilayah siarannya itu. Di Bandung saja, terdapat tiga stasiun televisi lokal.
Dalam perspektif komersial, publik tersebar sangat menguntunkan bagi para
pemasang iklan. Untuk televisi komersial, iklan adalah darah dan urat nadi
hidupnya.
5.
Bersifat Selintas
Pesan-pesan televisi hanya dapat dilihat dan didengar
secara sepintas siarannya tidak dapat dilihat dan dedengar ulang oleh pemirsa
kecuali dalam hal-hal khusus seperti pada adegan ulang sercara lambat, atau
dengan alat khusus seperti perekam video
cassette recorder (VCR). Sifatnya yang hanya dapat dilihat sepintas ini,
sangat memengaruhi cara-cara penyampaian pesan. Selain harus menarik, bahasa
pesan yang disampaikan televisi harus mudah dimengerti dan dicerna oleh
khalayak pemirsa tanpa menimbulkan kebosanan (Wahyudi, 1986:3-4).
B. PRINSIP
MENULIS UNTUK TELEVISI
1.
Gaya ringan bahasa sederhana
Tulislah naskah dengan gaya yang ringan
dan bahasa yang sederhana sehingga dapat dibaca dengan singkat dan mudah.
Kalimat dalam naskah berita harus maksimal terdiri atas 20 kata, satu kalimat
satu gagsan, menghindari anak kalimat, ubah gaya biokrat dan militeristik
menjadi ungkapan lugas dan mudah dimengerti masyarakat luas.
2.
Gunakan prinsip ekonomi kata
Prinsip ekonomi kata (word
economy) adalah prinsip penggunakan kata-kata secara efektif dan efisien.
Cara melaksanakan prinsip ekonomi kata adalah dengan menghindarri kata-kata
mubazir, seperti bahwa, oleh, adalah,
untuk, agar, supaya, dari, tentang, mengenai, dan telah atau sudah pada
konteks tertentu.
3.
Gunakan ungkapan lebih pendek
Gunakan kata atau ungkapan yang lebih
pendek. Contoh : menggelar aksi unjuk rasa diganti
dengan berunjuk rasa atau
berdemonstrasi ; menyampaikan orasi berorasi), dewasa ini (kini), dan lain
sebagainya.
4. Gunakan
kata sederhana
Naskah televisi harus bias dengan mudah
dimengerti oprang yang memiliki kosa kata terbatas agar bias didengar oleh
masyarat luas, contoh: polisi masih
mengidentivikasi korban (kalimat agak sulit dimengerti awam).
5.
Gunakan kata sesuai konteks
Gunaakan kata sesuai kebiasaan dengan
memperhatikan konteks penggunaannya, khususnya dalam berita yang terkait dengan
hokum. Contoh: tersangka (sebagai orangyang diduga kuat sebagai pelaku tindak
pidana), terdakwa (seorang tersangaka yang sudah dijatuhkan hukuman.
6.
Hindari ungkapan bombastis
Hindari ungkapan yang bias. Contoh:
hancur berantakan, ludes dilalap Si jago merah, luluh lantak, dan sebgainya.
7.
Hindari istilah teknis tidak dikenal
Sebisa mungkin hindari singkatan atau
istilah teknis biokratis, yuridis, dan militeristik kecuali yang sudah umum
digunakan masyarakat. Contoh: JPU (jaksa penuntut umum), SPJ (surat perintah
jalan) dan lain-lain.
8.
Hindari ungkapan klise dan eufemisme
Hindari ungkapan klise dan eufemisme yang
bias menyesatkan. Untuk ungkapan klise, contohnya: memasyarakatkan olah raga
dan mengolahragakan masyarakat, Si jago merah, dan sebagainya.
9.
Gunalkan kalimat tutur
Kalimat-kalimat yang terdapat pada naskah
berita hendaknya merupakan kalimat tutur atau percakapan (conversational) yang akrab dan santai. Kalimat tutur yang dapat
diambil sebagai contoh adalah ketika
seseoran berppidato atau berceramah tanpa teks. Untuk mengkaji apakah kalimat
yang ditulis merupakan kalimat percakapan, maka ucapkanlah kalimat itu.
10.
Reporter harus objektif
Dalam menyampaikan atau menulis
pernyataan sumber, reporter tidak boleh terkesan terlibat atau larut dalam
retorika sumber. Reporter harus tetap sebagai pemantau yang netral dan
objektif. Pilih kata-kata atau ungkapan konkret karena memberikan kesan yang
legih kuat, objektif dan terukur. Sedangkan kata-kata atau ungkapan abstarak
bersifat subyektif karena menggunakan kata sifat.
11.
Jangan mengulang informasi
Jangan mengulang informasi yang sudah
disampaikan dalam intro kebagian lain dari naskah berita. Kesalahan ini sering
dilakukan reporter pemula.
12.
Istilah harus diuji kembali
Istilah-istilah harus terus-menerus
diuji kembali apakah masih relevan dan kontekstual dengan situasi yang
berkembang.
13.
Harus kalimat aktif dan terstruktur
Kalimat berita haruslah merupakan
kalimat aktif, yaitu siapa melakukan apa dan siapa mengatakan siapa. Setiap
kalimat pada naskah berita hendaknya mengikuti struktur subjek-subjek-predikat.
Jangan menggunakan keterangan atau anak kalimat pembuka.
14.
Jangan terlalu banyak angka
Jangan terlalu banyak meletakkan angka
dalam suatu kalimat, kecuali diberikan grafik khusus agar penonton dapat mencernah
informasi yang didengarnya.
15.
Hati-hati mencantumkan jumlah korban
Jika mendapat berita yang sangat penting
mengenai bencana atau kerusuhan yang harus segera disiarkan, maka berhati-hati ketika mencantumkan jumlah
koraban karena boleh jadi informasi yang kita bawakan dan catatan pada pada
kepolisian berbeda dan tentu saja penonton akan merasa bahwa reporter
melebih-lebihkan.
C. KODE ETIK TELEVISI
1.
Prinsip Jurnalistik
Pada pasal 9 dikemukakan dua hal. Pada
ayat (1) detegaskan, lembaga penyiaran
harus menyajikan informasi dalam program factual dengansenantiasa mengindahkan
prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas). Sedangkan
pada ayat (2) dinyatakan, lembaga
penyiaran wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik tertulis maupun
lisan, khususnya dalam program berita berbahasa Indonesia.
Apa makna dan konsekuensinya? Media
televise punya kewajiban dan tanggung jawab moral seta professional untuk
selalu menggunakan bahasa jurnalistik yang benar danbaik. Telebisi, sebaai
media yang paling banyak pemirsanya dan paling lama ditonton dibandingkan
dengan media massa lain, mengemban fungsi edukasi kebangsaan yang harus
dilaksanakan secara konsisten. Apa pun program acaranya, televisi seperti ini,
harus terus-menerus disuarakan oleh masyarakat. Jadi, KPI harus begigi. Jangan
haya menjadi semacam dekorasi, seperti yang dikesankan selama ini.
2.
Akurasi
Soal akurasi diatur dalam pasal 10 yang
mencakup Sembilan ayat. Dari Sembilan ayat itu, tujuh ayat di antaranya relevan
untuk kita kutip dan bahas di sini. Ayat pertama tentang akurasi, ayat kedua
tentang cek ulang, dan dan ayat ketiga tentang penjelasan pada khalayak,
sengaja kita gabungkan agar enak dibaca. Selain itu agar tidak mengesankan
sedang membahas pasal demi pasal sebuah rancangan undang-undang (RUU).
Dalam program factual
lembaga penyiarann bertanggung jawab menyajikan informasi yang akurat. Sebelum
menyiarkan fakta, lembaga penyiaran harus memeriksa ulang keakuratan dan
kebenaran materi siaran.
Bila lembaga
penyiaran memperoleh informasi dari pihak yang belum dapat dipastikan
kebenarannya, lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada pihak khalayak bahwa
informasi itu versi berdasarkan sumber tertentu tersebut.
3.
Adil
Tema adil tertuang dalam pasal 11 yang
meliputi enam ayat. Karena semuanya relevan. Ayat pertama, kedua, dan ayat
ketiga, masing-masing berbicara tentang informasi tidak lengkap, potongan
gambar dan suara, dan tentang kewajiban member penjelasan kepada khalayak saat
pengambilan potongan gambar dan suara.
Ketentuan pada ketiga ayat ini,
menekankan betapa pentingnya pihak televise enjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah, menghargai hak-hak tersangka, dan menghormati sekaligus memenuhi hak
jawab pemirsa yang merasa dirugikan akibat tayangan program acara televise.
Asas praduga tak bersalah, pada dasarnya berupa pengakuan dari pihak media
televise, seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum vonis dijatuhkan oleh
hakim. Selain itu, media televise jangan sampai main hakim sendiri. Harus
diingat, televisi bukanlah polisi, jaksa, atau hakim. Media televisi tidak
berhak dan terlarang untuk menjatuhkan vonis kepada seseorang, sapa pun dia.
4.
Tidak berpihak
Tema tentang tidak berpihak atau sikap
netral, tertuang dalam pasal 12. Ayat pertama berbicara tentang fakta
objektif,ayat kedua menyinggung tentang independensi pimpinan redaksi dan tanpa
tekanan ketika menyiarkan suatu berita.
Ketentuan pada kedua ayat ini hendak
mengingatkan beberapa hal supaya senantiasa dijadikan rujukan oleh para
pengelola televisi terutama reporter dan editor, yaitu:
1.
Dalam hal apapun, kapan pun, di mana pun, dan
terhadap siapa pun, media televisi harus tetap objektif dan berimbang.
2.
Pimpinan redaksi, haruslah orang atau
orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi. Hanya dengan
demikian, dia atau mereka tidak akan pernah tunduk kepada tuntutan yang berada
di luar koridor profesi, idealism, dan integritas dirinya. Ia senantiasa lurus,
istiqamah, berkepribadian tinggi, serta memiliki jiwa sertsa sikap-sikap
kepemimpinan yang layak diteladani.
5.
Privasi
Pembahasan tentang privasi hanya dituangkan dala satu pasa
sebagaimana terdapat dalam pasal 19. Pasal ini sejalan dengan pendapat pakar
hokum pers Oemar Seno Adji tentang kemerdekaan pers dalam sallah satu karya
klasiknya. Kemerdekaan pers, tulis Oemar, harus diartikan sebagai kemerdekaan
untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh
alat-alat dari expresi seperti dikemukakan oleh Negara-negara sosialis.
6.
Pencegatan
Ketentuan tentang pencegatan deituangkan
dalam pasal 22 tanpa dijabarkan dalam ayat-ayat. Bunyinya sebagai berikut.
Pencegatan adalah tindakan menghadang narasunmber tanpa perjanjian unrtuk
ditanyai atau diambil gambarnya. Dalam hal ini, lembaga penyiaran harus
mengikuti kerenrtuan sebagai berikut. Lembaga penyiaran dapat melakukan
pencegatan selama itu tidak melibatkan upaya memaksa atau mengintimidasi
narasumber. Lembaga penyiaran harus menghormati hak narasumber untuk tidak menjawab
atau tidak berkomentar.
7.
Eksploitasi Seks
Eklploitasi seks tertuang dalam pasal 44
yang mencakup empat ayat. Dari empat ayat itu. Ayat pertama menyinggung tentang
lagu dan lirik sensual, dan ayat ketiga mempersoalkan adegan atau lirik yang
bernada merendahkan perempuan.
Anehnya, media televisi komersial,
paling tidak sejak tahun 2000, begitu gigih dan bersemangat menayangkan berbagai
program bertema seks. Sayangnya, kegigihan itu tidak disertai dengan
peningkatan inovasi dan kreativitas. Akibatnya, berbagai tayangan seks yang
muncul, nyaris semuanya bersifat dangkal, sangat jauh dari kesan mencerdaskan
dan memuliakan bangsa, dan bahkan cenderung lebih menempatkan kaum perempuan
sebagai objek seks. Perempuan dan seks, hanya dianggap sebagai komoditas.
Kecenderungan demikian, sudah selayaknya disikapi secara jernih, kreatif, dan
visioner terutama oleh KPI, lembaga-lembaga pemantau media, para pemuka agama,
kalanan budayawan, dan para pendidik yang setiap hari menanamkan biji-biji
kebajikan pada anak didiknya.
8.
Kata-Kata Kasar dan Makin
Ketentuan tentang kata-kata kasar dan
makian tertuang dalam pasal 52 yang mencakup dua ayat. Ayat pertama tertuang
penggunaan kata-kata kasar, dan ayat kedua menenai cakupan bahasa yang
menyiarkan kata-kata kasar dan makian itu, baik secara verbal maupun nonverbal.
Dibandingkan dengan media surat kabar
dan majalah, media televisi termasuk yang paling banyak memproduksi kata-kata
kasar dan makian terutama pada tayangan acara komedi dan sinetron. Bahkan yang
lebih mengenaskan, kelemahan dan keganjilan pada postur tubuh, tinggi badan,
berat badan, bentuk muka, bentuk bibir, warna kulit, sering dieksploitasi
habis-habisan sebagai objek bahan tertawaan. Lebih menyedihkan lagi, kelemahan
postur tubuh itu kerap disejajarkan dengan dunia binatang. Ada kesan, sebagian
besar dari para comedian kita sangat tidak intelektual, tidak menguasai
psikjologi massa, berwawasan sempit, malas berpikir, tidak kreatifk, dan
egoistis.
9.
Suku dan Ras
Ketentuan tentangh suku dan ras tertuang
dalam pasal 55 yang mencakup dua ayat. Ayat pertama berbicara tentang pelrcehan
suku dan ras. Ayat kedua mengenai larangan penayangan kata atau perilaku yang
mrerendahkan suku dan ras tertentu. Pada zaman Orde Baru, soal rasa dan suku
ini termasuk masalah yang sangat sensitif, sehingga jangankan manusia,
ikan-ikan di laut, burung kenari dan kijang di hutan pun, pantang
membicarakannya secara tertutup atau terbuka.
Sejauh ini, media televisi, bisa disebut
termasuk yang paling patuh dalam hal pelarangan penayangan hal-hal yang
berkonotasi suku dan ras. Media televisi tampaknya sangat menyadari, penayangan
acara atau berita jenis ini, sangat berpotensi untuk memicu konflik horizontal
secara luas dan tidak terkendali. Berbagai langkah preventif harus dilakukan.
Satu di antaranya dengan memutuskan untuk tidak meliput dan menayangkan gejala
dan peristiwa yang berkonotasi pelecehan suku atau ras tertentu.
10.
Judi
Pembahasann tetang judi hanya dituangkan
dalam satu pasal sebagaimana terdapat dalam pasal 60. Bunyinya sebagai
beritkut; lembaga penyiaran dilarang
menyajikan program yang memuat berita, bahasan atau tema yang mengandung
pembenaran terhadap perjudian.
Untuk perjudian, tak ada hal-hal yang
harus diperdebatkan lagi. Artinya media massa, termasuk televisi, sangat
terlarang untuk berempati atau apalagi sampai mendukung terhadap
praktik-praktik penjudian dalam selgala bentuknya, baik secara terselubung
maupun secara terang-terangan. Bahkan secara moral, media televisi, harus terus
mendorong pemberantasan praktik-praktik perjudian serta sekaligus mendorong
penciptaan iklim kehidupan bebas judi di seluruh Indonesia.
terikasih. sangat membantu :)
BalasHapusBanyak typo nya membuat pembaca akhirnya meragukan isinya. Di perhatikan lagi sebelum di post
BalasHapusBanyak typo nya membuat pembaca akhirnya meragukan isinya. Di perhatikan lagi sebelum di post
BalasHapustolong juga sertakan sumbernya, terima kasih!
BalasHapus