Sampel
adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada
populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti.
Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar
hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan
sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan
elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari
keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai
alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain
adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin
seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber
daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari
elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel
bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen
sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para
pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d)
demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen
dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk
dari satu pohon jeruk
Agar
hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya
dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan
sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan
nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Populasi
atau universe adalah sekelompok orang, kejadian,
atau benda, yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah
sikap konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh
konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan
“X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X”
tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka
populasinya adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah
efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya adalah
seluruh GKM organisasi “Y”
Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi
terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah
unsur atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30
elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik
sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.
Syarat
sampel yang baik
Secara
umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin
karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid,
yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur
adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang
Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu
yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua
pertimbangan.
Pertama
: Akurasi atau ketepatan , yaitu
tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin
sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut.
Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper
dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there
is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman
pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui,
yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai
contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang
dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil
atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada
sampel yang diambil secara sistematis
Contoh
systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode
penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary
Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936.
(Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan
tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari
calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku
telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah.
Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan
Franklin D. Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena
ternyata Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah
diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan
dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah
mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar
tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal
Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari
kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan
prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya
jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel
harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua
: Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik
adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat
mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai
produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari,
setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan
harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit.
Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan
hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin
kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel,
maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Belum
pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh
karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat
keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi
diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di
antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari
populasi (s), makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya,
tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel,
karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah (
Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata
di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang
ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Ukuran
sampel
Ukuran
sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala
jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan
analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif,
ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan
informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka
sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan
dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain
yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana
analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan
Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi,
makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau
rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin
mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga
bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar
tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang
pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan
tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh.
Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola
dengan baik (manageable).
Misalnya,
jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya
adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili
populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika
ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika
ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran
populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada
pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi,
penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian
perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15
elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe
(1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel
sebagai berikut :
1.
Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2.
Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb),
jumlah minimum subsampel harus 30
3.
Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran
sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan
dianalisis.
4.
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat,
ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie
dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai
untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)
Populasi
(N)
|
Sampel
(n)
|
Populasi
(N)
|
Sampel
(n)
|
Populasi
(N)
|
Sampel
(n)
|
10
|
10
|
220
|
140
|
1200
|
291
|
15
|
14
|
230
|
144
|
1300
|
297
|
20
|
19
|
240
|
148
|
1400
|
302
|
25
|
24
|
250
|
152
|
1500
|
306
|
30
|
28
|
260
|
155
|
1600
|
310
|
35
|
32
|
270
|
159
|
1700
|
313
|
40
|
36
|
280
|
162
|
1800
|
317
|
45
|
40
|
290
|
165
|
1900
|
320
|
50
|
44
|
300
|
169
|
2000
|
322
|
55
|
48
|
320
|
175
|
2200
|
327
|
60
|
52
|
340
|
181
|
2400
|
331
|
65
|
56
|
360
|
186
|
2600
|
335
|
70
|
59
|
380
|
191
|
2800
|
338
|
75
|
63
|
400
|
196
|
3000
|
341
|
80
|
66
|
420
|
201
|
3500
|
346
|
85
|
70
|
440
|
205
|
4000
|
351
|
90
|
73
|
460
|
210
|
4500
|
354
|
95
|
76
|
480
|
214
|
5000
|
357
|
100
|
80
|
500
|
217
|
6000
|
361
|
110
|
86
|
550
|
226
|
7000
|
364
|
120
|
92
|
600
|
234
|
8000
|
367
|
130
|
97
|
650
|
242
|
9000
|
368
|
140
|
103
|
700
|
248
|
10000
|
370
|
150
|
108
|
750
|
254
|
15000
|
375
|
160
|
113
|
800
|
260
|
20000
|
377
|
170
|
118
|
850
|
265
|
30000
|
379
|
180
|
123
|
900
|
269
|
40000
|
380
|
190
|
127
|
950
|
274
|
50000
|
381
|
200
|
132
|
1000
|
278
|
75000
|
382
|
210
|
136
|
1100
|
285
|
1000000
|
384
|
Sebagai
informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji
statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain,
uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang
jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500,
tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini
dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second
Edition)
Teknik-teknik
pengambilan sampel
Secara
umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random
sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom
samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling
adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk
diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100
dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai
kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan
nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen
populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima
elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah
peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya
kemungkinannya 0 (nol).
Dua
jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika
peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan
populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel
representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai
kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara
tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak
mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang
setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah
konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti
berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak
mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200
konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti
memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang
diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara
acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil
dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan
konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika
ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti
tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang
puas terhadap the botol.
Di
setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih
spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple
random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic
sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling
dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling,
purposive sampling, quota sampling, snowball sampling
Probability/Random
Sampling.
Syarat
pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling
frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang
berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen
populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang
tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa
perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa
yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP,
jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi
penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui
jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota,
maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika
populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah
Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap
tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di
samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa
dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang
bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka
Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan
melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika
sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu
sendiri.
- Simple Random Sampling atau
Sampel Acak Sederhana
Cara
atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung
deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap
unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana
analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya
dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam
organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal
yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian,
maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian
setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih
menjadi sampel. Prosedurnya :
- Susun “sampling frame”
- Tetapkan jumlah sampel yang
akan diambil
- Tentukan alat pemilihan sampel
- Pilih sampel sampai dengan
jumlah terpenuhi
- Stratified Random Sampling atau
Sampel Acak Distratifikasikan
Karena
unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai
arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat
mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui
sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer
tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi.
Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling
tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan
sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di
ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan
manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak.
Prosedurnya :
- Siapkan “sampling frame”
- Bagi sampling frame tersebut
berdasarkan strata yang dikehendaki
- Tentukan jumlah sampel dalam
setiap stratum
- Pilih sampel dari setiap
stratum secara acak.
Pada
saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan
secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional
adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur
populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas
(I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer
tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160.
Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk
stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan
stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah
dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau
elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau
dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa
mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat
menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.
- Cluster Sampling atau Sampel
Gugus
Teknik
ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus.
Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana
setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A
: laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus,
setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau
heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam
setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula.
Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya,
beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti
bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi
yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster
sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen
saja. Prosedur :
1.
Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100
departemen.
2.
Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3.
Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4.
Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika
peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat
pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat
digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi
secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang
“keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan
sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel
tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi
terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian
interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya
:
5.
Susun sampling frame
6.
Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7.
Tentukan K (kelas interval)
8.
Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak
atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9.
Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10.
Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
4. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik
ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi
penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer
sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat
atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling
sangat tepat. Prosedurnya :
1.
Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) –
Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2.
Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?,
Kecamatan?, Desa?)
3.
Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4.
Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5.
Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya,
bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
Nonprobability/Nonrandom
Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti
telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak
semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih
menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan
karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan
oleh peneliti.
1.
Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam
memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan
kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi
ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada
beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak
disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis
sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian
diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random).
Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata
kurang obyektif.
2.
Purposive Sampling
Sesuai
dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang
atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang
atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya.
Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment
Sampling
Sampel
dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik
untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang
bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer
produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment
sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena
mereka mempunyai “information rich”.
Dalam
program pengembangan produk (product development), biasanya yang
dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau
karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka
jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan
Emory, 1992).
Quota
Sampling
Teknik
sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional,
namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya,
di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang
peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka
dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan
pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel
tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.
3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara
ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya
bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia
minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa
dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum
lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita
lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta
kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya.
Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup,
peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga
dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain
yang eksklusif (tertutup)